LETIH
Karya AP. Santoso
Hidupku serumit kisah Telenovela, semenjak dilahirkan 25 tahun yang lalu duka nestapa seakan terus mengakrabi. Meski bumi riuh oleh manusia dan Tuhan tidak pernah marah pada Ibu yang melahirkan aku, namun entah kenapa orang-orang disekitarku dan di mana aku ada seperti ”tak terima serta marah” karena aku telah dilahirkan.
Sebut namaku Mentari, lahir ke dunia ini hasil dari hubungan perselingkuhan Laras Ibuku dengan suami kakaknya sendiri. Waktu itu memang ibu tinggal satu rumah dengan kakaknya yang telah bersuami dan punya dua anak perempuan yang satu umur 3 tahun dan satunya umur 5 tahun.
Fakta itu aku ketahui secara tidak sengaja, ketika sepulang sekolah, aku lewat samping rumah tetangga, samar-samar aku dengar ada ibu-ibu menggosip menyebut-nyebut namaku. Karena penasaran aku menghentikan langkah dan mencuri dengar, apa yang dibicarakan. Lantaran gosip ibu-ibu yang membahas habis aib keluargaku, aku jadi tahu semua tentang jati diri dan masa lalu keluargaku.
***
|
Letih |
Mengawali kisah ini, suatu hari Bu De Lastri marah besar pada ibuku. Bu De Lastri memaki-maki ibu karena diketahui telah hamil, sementara ibu belum menikah. Setelah lama bertengkar hebat, akhirnya ibu mengaku hamil dengan Pak De Broto yang notabene suami Bu De Lastri sendiri.
Mengetahui kenyataan bahwa Laras adik perempuan satu-satunya dihamili suaminya, Bu De Lastri hanya bisa pasrah, hatinya seketika hancur. Kebencian pada Laras dan Broto suaminya menyeruak.
Hubungan Bu De Lastri dan Pak De Broto selanjutnya semakin tidak harmonis dan berjarak. Sebaliknya bukannya menyesal, hubungan terlarang Pak De Broto dan ibu terus berlanjut. Karena sudah tidak kuat menghadapi tingkah
polah suaminya dengan Laras, Bu De Lastri memutuskan untuk cerai, waktu itu umurku baru 3 tahun. Tidak menunggu lama setelah Pak De Broto dan Bu De Lastri pisah, Pak De menikahi ibuku. Dari hasil pernikahan itu, satu tahun lahirlah Niken adik perempuanku.
***
gosip ibu-ibu tetangga waktu aku SMP itu, bak mimpi buruk yang tak pernah sedikitpun kuharapkan datang dalam tidurku. Masa kecilku dan sekolahku yang biasanya berjalan wajar, semenjak itu berubah drastis. Beban demi beban mengisi hari-hari dalam hidupku saat aku sekolah, saat aku bermain dan saat di rumah. Aku dan kehidupan keluargaku seakan tak pernah habis menjadi bahan pergunjingan sana sini. Meski semakin hari hidupku semakin berat, namun aku bisa juga menamatkan pendidikan SMP. Setamat SMP aku tak bisa melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya, dengan keseharian sebagai buruh tani, ibu tidak akan mampu membiayai. Setelah lulus, aku putuskan membantu ibu, kerja sebagai buruh tani. Tak banyak gadis-gadis di kampungku yang mau menjadi buruh tani, hanya satu dua yang mau dan salah satunya aku, itupun karena aku tidak ada pilihan lain. Ibuku tampak memahami dan setelah beberapa waktu ikut ibu bekerja sebagai buruh tani aku mulai terbiasa.
Suatu hari seperti biasa pagi-pagi aku dan ibu sudah jalan untuk kerja memanen padi di kampung tetangga. Setelah makan sebungkus nasi yang dibagikan oleh pemilik sawah, aktivitas memanen padi segera dimulai. Di tengah hiruk pikuk canda tawa orang memanen padi dan panas menyengat tubuh serta gatal merayapi kulit tanpa sengaja aku beradu pandang dengan seorang pemuda yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Entah kenapa kali pertama berbalas pandang, ada desir aneh menyusup dalam hati. Perasaan seperti ini tidak pernah muncul sebelumnya dalam hidupku.
Waktu cepat berlalu, sore datang dan matahari merapat ke peraduannya, aku terbaring capek di atas ranjang beralas bambu. Setelah sekian lama, kantuk tak kunjung datang, biasanya aku cepat lelap ketika capek, tiba-tiba
bayangan wajah pemuda yang beradu pandang tadi siang hadir mengelitiki rasa. Siapa ya, pemuda tadi? Mengapa aku jadi terus memikirkan, apakah aku lagi jatuh hati padanya? Aah pemuda itu...kenapa lagi-lagi dia?! Karena kantung berat akhirnya Mentari tertidur juga.
Beberapa hari kemudian, saat Mentari mengantar ibunya belanja ke pasar, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya. Mentari menoleh, siapa ya? tanya Mentari kaget. Lama mengamati pemuda dihadapannya, Mentari mulai ingat, ”ech..bukankah kamu yang di sawah waktu itu?” tanya Mentari ragu-ragu.
”Iyaa..aku yang kemarin dulu melihatmu pas panen di sawahku,” jawab pemuda itu cepat.
Kenalkan, namaku Sapto, panggil saja To,” kata pemuda itu sembari mengulurkan tangan. Mentari buru-buru menyambut dengan mengulurkan tangan, ”saya mentari” biasa dipanggil Tari. Tak lama, keduanya langsung akrab.
”Tari, ayo pulang, ibu sudah selesai belanja,” teriak ibunya Tari. Iyaa..! To, aku pulang dulu, ibuku sudah memanggil. Ok! Sampai ketemu lagi,” jawab Sapto sembari melepas genggaman tangannya. ”Janji !” kata Mentari sambil mempercepat langkah menghampiri ibunya yang sudah menunggu. Sapto tidak menjawab, namun kerlingan mata isyarat mengiyakan.
Tok..tok..tok, bunyi orang mengetuk pintu, aku keluar dari kamar, di depan TV saya lihat ibu asyik nonton sinetron dan Niken adikku lagi belajar di sebelahnya. Setelah pintu aku buka, terlihat Sapto berdiri ragu. Untuk sesaat Tari agak kaget, ee..kamu To, ayo masuk,” kataku mempersilahkan. Kami ngobrol kiri kanan sampai jam 11 malam.
Hari-hari berikutnya, hubunganku dengan Sapto berlanjut terus dan kian akrab. Keluarga dan tetangga sudah banyak yang tahu bahwa kami pacaran.
Semakin dekat dan semakin lama hubungan ini terjalin, hingga suatu hari aku meminta Sapto untuk segera menikahiku. Namun alangkah terkejutnya aku karena bukan kata ya yang aku dapati tetapi justeru sebaliknya malah Sapto menolakku, dia berterus terang bahwa selama ini tidak benar-benar mencintaiku. Yang lebih mengagetkanku ternyata selama ini tanpa sepengetahuanku, Sapto telah menjalin hubungan serius dengan Niken adikku.
Bak kesambar petir di siang bolong, mendengar semua itu, tiba-tiba pandanganku kabur serta merta aku langsung pingsan untuk beberapa saat. Aku tersadar, samar-samar kulihat Sapto berusaha menenangkanku. Aku tak lagi menggubris, air mata mengucur deras sembari lari masuk kamar. Sambil memeluk erat guling, tangisanku semakin menjadi-jadi. Mengapa ini harus terjadi padaku? Bagaimana mungkin Niken tega merebut Sapto dariku.
Cintaku pada Sapto telah membutakan mata hati hingga tak sedikitpun aku tahu sejak kapan mereka berpacaran. Mengapa Niken tega berbuat ini padaku! Aku dan dia adalah saudara kandung, anak biologis Ibu Bapak, meski aku cacat status, dilahirkan ketika Bapak masih menjadi suami sahnya Bu De Lastri dan ketika ibu masih sendiri.
Semalam itu, aku tak sedikitpun dapat memejamkan mata, hati terasa remuk redam.
Esok paginya, aku bangun dengan muka kusut dan rambut acak-acakkan dengan lesu aku seret kaki menuju kamar mandi. Ibu masih sibuk masak, tak terlalu memperhatikanku. Sementara Niken dari mulutnya hanya keluar sepatah dua patah kata lalu pergi.
***
Setelah putus hubungan, Sapto tidak pernah lagi menemuiku. Ternyata benar, beberapa bulan kemudian keluarga Sapto datang untuk melamar Niken. Lamaran itu bukan untukku, tetapi untuk Niken. Setelah disepakati, bulan depan acara pernikahannya. Menyaksikan itu semua, aku hanya terpaku mengunci rapat di kamar, dengan linangan air mata, rasa sakit, luka, kalut bercampur baur.
Aku begitu kacau, pikiran buntu..aku kemasi baju dan barang seperlunya, tekadku pergi dari rumah malam ini sudah bulat. Aku harus pergi, aku tidak dapat melanjutkan hidup apabila masih tetap di rumah.
Tiba-tiba suara pintu kamar diketuk, Tari...Tari! tolong buka, ibu mau bicara. Tari ...
Aku tak kuasa menolak permintaan ibu, setelah pintu kubuka, serta merta ibu memelukku erat-erat sambil tersedu. Tari, maafkan ibu..semua yang terjadi tak seharusnya kamu mengalami dan tidak selayaknya dosa ibu, kamu ikut menanggung beban penderitaannya. Ibu...bukanlah seorang ibu yang tak punya perasaan. Ibu begitu memahami apa yang kamu rasakan. Atas apa yang Niken lakukan padamu, ibulah yang seharusnya disalahkan. Tolong maafkan ibu...ibu mohon Tari jangan pergi. Beri kesempatan pada ibu untuk memperbaiki, setidak-tidaknya apabila tekadmu pergi sudah bulat, tolong jangan sekarang, tunggu sampai acara pernikahan bulan depan. Nanti ibu titipkan teman ibu di kampung sebelah, kebetulan dia mau ke Jakarta. Tari, selama ini ibu tidak pernah memohon padamu, sekali ini tolong ikuti kata-kata ibu.
Aku sesenggukan dipangkuan ibu, entah kenapa seumur-umur baru kali ini aku berlaku demikian pada ibu. Seingatku ibu tidak pernah seperti ini terhadapku. Selama ini ibu lebih banyak diam, ibu tidak pernah menceritakan padaku bagaimana aku lahir, mengapa aku tak dapat akte kelahiran, bagaimana masa kecilku. Ibu juga tidak pernah memberiku nasehat bagaimana menjadi seorang gadis. Ibu banyak menggunakan bahasa diam sehingga anggapanku selama ini ada ataupun gak ada ibu gak ngaruh bagiku. Dalam diam ibu menyimpan rapat segenap gejolak hati.
Mungkin bahasa diam ibu selama ini, telah memberiku ruang kebebasan untuk membiarkan menjadi salah paham dan menganggap ibu seperti tak pernah ada dalam hidupku.
Mendengar omongan tulus ibu, aku jadi mengerti bahwa sebenarnya ibu sangat perduli atas kondisiku. Kata-katanya barusan menjadi jawaban dari semua pertanyaan yang mengendap di dinding pikiran sudah semenjak lama.
Akhirnya aku tak kuasa menolak permintaan ibu, untuk mengurungkan niat pergi malam itu.
***
Bunyi-bunyi gending-gending Jawa keras memekakkan telinga, di kursi penganten itu Sapto dan Niken duduk bersanding. Aku menguatkan hati untuk
tetap tegar menghadapi semua meskipun hati terasa tersayat-sayat setiap kali melihat Sapto dan Niken beradu senyum.
Esok harinya, ibu mengantarkanku ke rumah Mbak Narti temannya. ibu bermaksud menitipkan aku padanya. Sebelum berangkat, berulang kali ibu memintaku untuk tabah..berulang kali ibu memintaku untuk tetap tegar..berulang kali ibu memintaku untuk tetap bertahan. Aku memeluk erat ibu, air mata mengalir deras. Dalam hati seakan meronta mengapa tidak semenjak lama, ibu bicara begini padaku. Jika ibu seperti ini, tentu aku tak merasa sendirian karena akan selalu ada ibu di sampingku.
Bus melaju pelan memulai perjalanan, lewat kaca aku lambaikan tangan, ibu terus melambaikan tangan juga. Matanya berkaca-kaca seolah berusaha menguatkan bathinku agar tetap tegar.
Di dalam bus, aku hanya diam termenung. Sepanjang jalan aku membolak-balik kembali semua yang telah aku alami. Mengapa kisah cintaku mewarisi karma ibu, dulu ibu merebut suaminya Bu De Lastri tanpa sedikitpun penyesalan. Hal sama dilakukan Niken padaku, Niken merebut Sapto dariku tanpa sedikitpun merasa bersalah dan tak sepatah kata maaf keluar dari mulutnya. Niken seperti orang lain dan aku seperti tak pernah dianggap kakak olehnya.
***
Minggu pertama di Jakarta, Mbak Narti berusaha menghubungkan aku dengan kenalan-kenalannya supaya dapat dibantu masuk kerja. Setelah bebarapa lamaran aku jalani, akhirnya aku diterima kerja di pabrik boneka. Aku sangat senang karena sangat sulit mencari kerja apalagi aku hanya tamat SMP, meski gaji pas-pasan aku tetap senang.
Bulan demi bulan aku lalui, sedikit demi sedikit aku sudah mulai bisa melupakan peristiwa pahit masa lalu. Aku mulai bangkit menata hidup. Aku senang mendapatkan banyak teman di pabrik itu, memang sekitar 80 persen perempuan baru selebihnya laki-laki. Diantara sedikit laki-laki yang ada, aku mulai kenal dengan seorang bernama Wisnu. Orangnya sedang-sedang saja
menurut standarku, perkenalanku dengannya mengalir begitu saja sehingga semakin hari aku menaruh hati padanya. Hubungan kami semakin serius hingga sampai pada suatu malam, ketika semua teman kos dapat giliran kerja shif malam, aku sendirian. Sepi juga kalau semua teman kos kerja, aku mau ngapa ya..gumamku dalam hati.
Tak lama, mas Wisnu datang. Syukur malam ini aku ada teman ngobrol. Kita awalnya hanya ngomong basa basi kanan kiri, entah kenapa kian lama ada dorongan hasrat tertentu yang tak bisa terbendung. Malam itu, akhirnya sesuatu terjadi dan itu tidak pernah aku lakukan seumur hidupku. Saat itulah telah aku serahkan semuanya pada mas Wisnu. Aku gak habis pikir kenapa aku rela melakukannya, pikirku dengan berbuat layaknya suami isteri, mas Wisnu kelak tidak akan mengelak dan akan bertanggung jawab atas semua perbuatannya jadi tidak akan ada lagi gadis lain yang dapat merebut dia dari sisiku. Semenjak kejadian malam itu, setiap kali ketemu kita selalu melakukannya.
***
Tiga bulan lewat, hubunganku berjalan mulus. Aku mulai merasa ada perubahan dalam tubuhku, setelah aku periksa ke dokter ternyata aku positif hamil. Berita kehamilan ini tak sedikitpun mencemaskanku karena aku dibutakan cinta dan keyakinan pada mas Wisnu. Kurahasiakan ini dari teman dan terlebih Mbak Narti. Besoknya aku berangkat kerja seperti biasa, pas sampai di depan pintu pabrik aku melihat mas Wisnu lagi bicara serius dengan seorang perempuan yang belum kukenal, oleh dorongan rasa penasaran aku bertanya pada teman, ”Lus, siapa yang ngobrol sama mas Wisnu itu?” Oh itu..itu kan isterinya Mbak Lia yang kerja di pabrik sepatu,” jawab Lusi sembari pergi.
Aku sontak terdiam, tubuhku mendadak gemetaran namun kuberanikan berpapasan diri dengannya. Mas Wisnu nampak gugup dan kaget melihatku, namun segera disembunyikan ekspresi kekagetannya agar isterinya tak curiga.
Sepanjang hari itu, gairah kerjaku spontan hilang. Kenapa setiap cuil harapan datang, sesaat itu pula lenyap dengan meninggalkan beban penderitaan dalam hidupku. Sekarang aku harus bagaimana? Tak kuat lagi aku menanggung
semua ini. Siapa sebenarnya yang dikutuk, nenek moyangku atau ibuku atau aku?
***
Aku menatap langit di ruang sempit sambil menahan sakit hebat di perut... oleh tangan perempuan tua terampil mengacak-acak perutku.. Pikiranku melayang-layang !!
Aku tidak mungkin mempertahankan dan membiarkan bayi ini lahir. Aku tidak ingin kelak mewarisi hidupku yang serba gelap, penuh derita, kesepian tanpa cinta dan hampa.
Menggugurkan kandungan ini, adalah jalan terbaik untuk memutuskan penderitaan yang akan dialami kelak.
Dilahirkan dan melahirkan merupakan momen penting bagi semua manusia karena mendatangkan kebahagiaan tiada tara, namun itu tidak berlaku bagiku dan bayiku. Aku melirik ke bawah ke arah kakiku, darah segar mengalir deras di sela selangkangan. Air mata mengalir pelan, aku tidak tahu untuk apa air mataku kali ini..untuk aku merintis jalan bahagia atau mengawali penderitaan berikutnya.
Atas semua nestapa yang tak kunjung pergi, atas semua yang terjadi, atas semua yang aku lakukan...Aku tak yakin bisa melanjutkan hidup ini meski hanya untuk satu hari besok !!! Aku Letiih...!
PROFIL PENULIS
Nama: AP. Santoso
Nama Email : aditiyakaendra@yahoo.co.id