SEPASANG BIDADARI
Karya Albertus Kelvin
Namaku Mitsuko. Hari ini aku masuk sekolah seperti biasa. Ditemani oleh awan yang mendung dan udara yang dingin.
Setelah menyiapkan semuanya, aku mengambil jaket hitamku untuk berjaga-jaga jika suatu waktu nanti turun hujan. Cuaca mendung hari ini sepertinya mewakili perasaanku sekarang. Perasaanku hari ini tidak lain tidak bukan adalah mengantuk. Ya, mengantuk. Bencinya aku harus masuk sekolah lagi hari ini. Sepertinya gara-gara menemani ibuku berjualan bakmi ayam sampai sore hari kemarin, aku tidak mendapatkan jatah tidurku yang biasanya 7 jam itu. Hah, betapa aku merindukan saat-saat itu.
Ditambah pula saat aku harus menemani ayahku yang sedang sakit. Selesai menemani ibu berjualan, aku harus langsung membuat makanan untuk ayah, menyuapinya, kemudian memberikannya obat agar ia bisa cepat sembuh. Setelah semua itu barulah aku bisa pergi dengan bebas mengurung diri di kamarku. Kalau dilihat, rumahku tidak terlalu besar dan tidak juga terlalu kecil. Cukup untuk diriku seorang bersama kedua orangtuaku. Namun kamar yang benar-benar nyaman untuk ditempati adalah kamarku. Aku cukup bingung mengapa kedua orangtuaku tidak membuat kamar yang nyaman untuk mereka sendiri. Mereka saat ini lebih suka untuk tidur di dekat ruang tamu. Rumahku terdiri dari ruang tamu yang dijadikan sekaligus ruang keluarga. Sayang, saat ini ruang itu benar-benar jarang dipakai. Yap, karena ayah sedang sakit dan ibu harus selalu dominan berada di dapur menyiapkan bahan jualan untuk esok hari. Sebenanrnya kalau aku jadi mereka, aku akan langsung membogkar dapur itu dan membuatnya menjadi kamar untuk mereka sendiri.
|
Sepasang Bidadari |
Namun sepertinya mereka tidak tahu atau juga mereka tidak mau melakukannya. Jika sudah menikah nanti aku ingin menjadi orang tua yang baik bagi anakku dan keluargaku. Aku ingin selalu memberikan yang terbaik bagi mereka. Aku ingin memberikan fasilitas di rumah masa depanku nanti dengan sesuatu yang bisa membuat mereka selalu tersenyum. Setidaknya itulah impianku, seorang Mitsuko.
Sudah dulu ya cerita mengenai rumah dan kedua orangtuaku itu. Sekarang aku ingin melanjutkan kegiatan apa sih yang kulakukan di kamar. Setelah membantu dan menemani kedua orangtuaku itu, akupun langsung belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi berbagai tugas dan ulangan besok hari. Bisa dibayangkan bukan setelah pulang sekolah siang hari, aku membantu ibu berjualan sampai sore hari. Setelah itu aku juga harus membantu ayahku dan melayani kebutuhannya agar ia cepat sembuh. Aku baru bisa mulai belajar sekitar pukul 9 malam. Terkadang saat belajar aku merasa mengantuk dan ingin rasanya langsung menghempaskan diri ke ranjangku yang empuk. Aku ingin melepas lelah dari hari ini. Namun aku juga harus belajar dengan tekun. Ibu dan Ayahku selalu mengatakan kalau aku harus bisa menjadi juara kelas dan lulus dengan nilai terbaik, sehingga nanti bisa kuliah di universitas favorit. Mengenai tuntutan mereka inilah yang membuatku mengejar nilai agar bisa menjadi juara kelas. Aku kadang berpikir, untuk apa sih jadi juara kelas? Bukankah menjadi siswa yang bisa naik kelas saja itu sudah cukup dan membahagiakan mereka? Hal inilah yang kadang membuatku resah dan lelah menghadapi hari demi hari di depan buku pelajaran. Baru saat aku sudah lulus kuliah nantilah aku mengerti apa maksud tuntutan dari kedua orangtuaku ini.
Hari-hari terus berjalan mendekati hari ujian di sekolahku. Aku semakin giat untuk belajar dan terkadang merasa pesimis kalau aku tidak bisa lulus dengan nilai baik, dikarenakan disamping belajar aku juga direpotkan dengan pekerjaan untuk orang tuaku tadi. Kadang aku melihat diriku menjadi terlalu divorsir sehingga aku bisa belajar sampai pukul 2 pagi. Haahh, itu semua tentu kulakukan untuk memenuhi permintaan kedua orang tuaku bukan? Tahukah sobat, terkadang saat menjalani semua permintaan mereka, aku merasa capek dan tidak mau melakukannya. Memang permintaannya hanya satu yaitu belajar, tapi bagiku tidak mudah untuk dilakukannya.
Kalau mereka mau diriku bisa belajar dengan baik, mengapa mereka malah memintaku untuk menemaninya berjualan ataupun membantunya minum obat? Kadang aku merasa mereka seperti tahu segalanya yang terbaik bagiku, namun memberikan yang terburuk bagiku. Ironis kupikir dalam hati. Mungkinkah mereka juga diperlakukan demikian oleh kakek dan nenekku saat mereka masih seusiaku? Aku ingat saat dimana sore itu, aku katakan kepada mereka berdua tentang impianku tadi. Mereka hanya tersenyum dan berkata kalau aku pasti bisa mendapatkannya.
Namun mereka juga berpesan kalau itu tidak akan mudah diraih. Aku harus memiliki mental dan tekad yang
kuat untuk mencapainya. Sampai sekarang kalau belajar saja sangat sulit, bagaimana bisa aku memenuhi permintaan orang tuaku?
Akhirnya ujian selama 3 hari itu tiba dan aku menyelesaikannya dengan baik. Aku beryukur kepada Tuhan atas apa yang sudah kulalui dan kuterima sampai saat ini. Aku pulang dengan keadaan biasa saja. Tidak senang juga tidak sedih sedikitpun.
Ya, aku juga harus membantu ibi berjualan dan menemani ayahku nanti malam bukan? Rutinitas yang menurutku tidak tahu arah itu akhirnya sampai juga di depanku.
Namun semuanya berubah ketika aku sudah sampai di depan rumahku. Aku heran melihat banyak orang yang mengerubungi rumahku. Ada apa?
Kebetulan saat itu aku bertemu dengan Pak Yoshi, tetangga terdekatku yang dermawan. Aku menanyakan perihal apa yang terjadi di rumahku.
Juga dimana kedua orang tuaku. Ia dengan wajahnya yang sedih hanya bisa menjawab kalau rumahku baru saja dimasuki sekelompok pencuri.
Ibuku berusaha melawannya namun naas pencuri itu berhasil membunuh ibu dan ayahku.
Saat itu aku merasa waktu di dunia ini berhenti. Matahari berhenti mengeluarkan sinar panasnya ke kulitku.
Aku merasa detik itu pula kedua orangtua yang selama ini tidak pernah bosannya menasehatiku pergi untuk selamanya. Aku merasa ingin jatuh, mengingat bahwa tadi pagi aku baru saja keluar dari rumah untuk pergi ke sekolah. Aku pergi tanpa berpamitan dengan mereka. Aku terlalu terburu-buru untuk mengikuti ujian itu, sekaligus dalam hati kecilku berharap agar tidak disuruh-suruh apapun oleh ibu atau ayahku. Saat itu juga aku menyadari kalau aku tidak memiliki orang tua, bahkan aku tidak tahu harus berkata dan bertindak
apa lagi. Aku terjatuh pingsan.
5 tahun kemudian.....................
Hari ini aku bersyukur bisa bangun setelah menikmati tidur malamku yang menyenangkan. Wah aku bisa mendapatkan jatah tidur 7 jamku lagi. Betapa berharganya itu bagiku. Seperti biasa aku bersiap-siap untuk pergi menimba ilmu. Namun tidak dengan seragam SMA lagi tentunya, aku sekarang sudah kuliah di universitas favoritku.
Setelah menjadi juara kelas di sekolah SMA ku dulu, aku diijinkan mendapatkan beasiswa full dari pemerintah Jepang untuk bisa melanjutkan kuliah, termasuk bisa membel dan tinggal di rumah kosku yang baru ini. Saat inilah aku memulia kehidupanku untuk mandiri tanpa bantuan orang lain.
Sekarang di saat-saat kuliah ini aku merasa sangat bahagia dan tenteram. Aku sudah menjadi wanita dewasa yang mana aku bisa menjalani dan melakukan apa yang kusuka.
Aku bisa melakukan hobiku dengan bebas sepanjang hari dan dimanapun. Aku seakan tidak terkekang oleh waktu. Namun pelajaran dan materi kuliah ini tentu menjadi semakin rumit dari saat aku di SMA dulu. Materi ini membutuhkan waktu belajar yang cukup, ditambah lagi aku semakin aktif mengikuti kegiatan di kuliah, seperti ikut komunitas pencinta alam misalnya. Namun herannya dengan sifat malasku yang sudah ditimbun sejak dulu, aku bisa menyelesaikan kuliahku dengan baik dengan nilai kelulusan yang baik pula. Tentu aku sangat beryukur bisa melakukan semua itu.
Di saat-saat liburan inilah aku berkenalan dengan seorang pria bernama Kalvaristo. Hm, ia adalah pria yang tampan dan baik hati dan tentunya sesuai dengan selera pacarku.
Ia adalah orang yang menemaniku di saat aku kesepian. Ia adalah malaikat yang selalu berada di sisiku di saat aku mengalami kesulitan.
Akhirnya karena merasa sudah cocok, kamipun merencanakan pernikahan. Pernikahan kami sederhana saja, namun berkesan mendalam. Kalvaristo memang lelaki yang sederhana, namun sangat tegas dan rajin dalam bekerja. Karena semua sifatnya itulah yang membuat kami berdua bisa membentuk sebuah keluarga kecil yang dilengkapi oleh 2 orang anak yang lucu-lucu. Kami sangat bahagia saat itu.
Aku akhirnya bisa bekerja sebagai akuntan proffesional di sebuah perusahaan ternama di Tokyo. Kalvaristo nampaknya puas hanya menjadi seorang wiraswasta, sebagai teknisi komputer yang tidak bekerja di perusahaan. Kami melewati hari demi hari seperti biasa, hanya dipenuhi oleh jam kerja. Kedua anakku pergi bersekolah dan diasuh oleh seorang pembantuku di rumah. Aku dan suamiku kadang pulang larut karena memang pekerjaan kami sangat banyak. Kami hanya bisa menghabiskan waktu bersama satu keluarga saat akhir pekan. Di saat itulah kami berbagi tawa dan keceriaan yang tidak bisa didapat
di hari biasa.
Kadang tanpa sadar aku berpikir. Saat ini aku merasa bahwa diriku sudah memenuhi semua impianku di saat aku masih kecil dulu. Ya, impianku adalah membentuk sebuah keluarga kecil yang harmonis dimana aku mau memberikan yang terbaik bagi mereka. Bagi anak-anakku, aku berusaha memberikan sekolah terbaik bagi mereka, fasilitas di rumah yang terbaik, serta pembantu rumah yang baik. Tidak lupa yang terpenting adalah aku berusaha memberikan orang tua yang baik bagi mereka. Aku mau menjadi ibu yang baik bagi mereka. Impianku ini sama dengan impian Kalvaristo.
Sejenak aku merasa kalau yang aku lakukan saat ini berbeda jauh dengan kedua orang tuaku dulu. Mereka hidup dan menemaniku dengan kesulitan dan kemiskinan. Namun sekarang aku bisa menjadi orangtua yang bisa mencukupi semua kebutuhan anak-anaknya. Kami bisa hidup dengan layak dan berkecukupan. Pekerjaanku membutuhkan profesionalisme yang tinggi. Jika aku tidak belajar dengan serius dulu, maka aku tidak akan bisa menjadi salah satu akuntan profesional di negeri Sakura ini. Ternyata aku berhasil menemukan maknanya. Aku mengerti mengapa kedua orangtuaku dulu menuntut ku untuk bisa menjadi juara kelas. Itu semua agar aku belajar mulai dari saat-saat remajaku untuk bisa menjadi yang terbaik di antara orang banyak. Mungkin aku berasal dari keluarga miskin, namun aku memiliki sesuatu yang lebih dari orang lain. Aku diajarkan memiliki mental juara yang kuat. Itulah makna dari tuntutan mereka kalau aku harus jadi juara kelas. Kadang aku mengerti, bukan juara kelas dalam arti sebenarnya yang mereka maksud, namun lebih kepada juara dalam artian aku bisa melewati masa-masa sulit sebelum ataupun saat ataupun setelah ujian itu dilaksanakan. Jika aku tidak menjadi juara, itu tidak masalah. Yang terpenting adalah aku mengerti bagaimana sulitnya mencapai sebuah mimpi jika kita tidak bisa mengatur diri sendiri.
Mengatur diri sendiri ini berkaitan erat dengan bagaimana aku membagi waktu antara membantu orangtua dengan belajar untuk ujian.
Ternyata masalah pembagian waktu inilah yang kuhadapi dulu. Jika aku berhasil membagi waktu dengan baik, maka otomatis aku berhasil mengurus diriku sendiri dengan baik. Aku sudah memiliki peluang besar menjadi juara.
Pelajaran ini yang menjadi sentilan kecil untukku karena kebanyakan bekerja daripada bersama anak-anak. Aku kadang kesal dengan diriku sendiri yang tidak bisa memberikan waktu untuk anak-anakku. Ternyata aku mengerti.
Dulu aku selalu disuruh untuk membantu ibu dan ayah. Mungkin saja maksud mereka adalah mereka ingin memberikan contoh dan teladan bagaimana aku yang seorang anak harus bisa membagi kasihnya dengan orang tuanya.
Anggap orang tuaku itu dulu sebagai anak-anakku sekarang. Mungkin karena kebiasaan ku mengeluh saat membantu orangtuaku dulu itulah, yang membuatku tidak siap membagi kasih dengan anak-anak. Aku melewatkan sebuah pesan besar untuk masa depanku ini.
Aku berterima kasih kepada kedua orangtuaku. Ayah dan Ibu. Terima kasih karena mereka sudah menjadi sepasang bidadari terbaikku selama hidup. Sekarang aku harus berusaha menjalankan impianku yang akhirnya terbukti bisa kudapatkan ini dengan selalu membagi kasih kepada kedua anakku. Merekalah sepasang bidadari kecilku. Aku akan mengasihi mereka untuk membalas apa yang tidak bisa kulakukan dengan sepenuh hati kepada kedua orangtuaku dulu.
Tuntutan mereka ternyata adalah sebuah pelajaran berharga. Tidak ada pelajaran yang tidak berharga keluar dari mulut sepasang bidadari yang diutus Tuhan untuk mendidik putra-putri-Nya yang dikasihi.
Mulai sekarang, kasihilah sepasang bidadarimu itu. Tidak ada alasan untuk tidak melakukannya, karena semua orang pasti memiliki sepasang bidadari dan akan menjadi sepasang bidadari pula yang sudah dididik dengan penuh cinta.
PROFIL PENULIS
Nama : Albertus Kelvin
email : albertusk95@gmail.com
fb : Albertus Kelvin