OBAT….
Karya Nurbaniah
Aku sakau….rasanya penyakit ini semakin parah…aku butuh obat sekarang juga. Kupandangi obat yang kumaksud tengah diam menatapku sambil membentangkan kedua tangannya untuk mendekapku. Menawarkan pelipur lara yang begitu manjur. Menjadi penawar racun yang sudah mendekam dalam urat nadiku selama bertahun-tahun. Ya Tuhan…aku kembali merasakan sakit yang luar biasa….penyakit ini kronis…akankah tersembuhkan?....
Bising….sekelilingku terasa begitu mengganggu. Suara musik dari hp di atas meja…suara orang yang sedang mengobrol di hadapanku….hingga suara angin yang hanya sekedar menyapa sesaat, sebelum kembali berlalu. Ahhhh…..sukmaku memberontak. Teriakan ini hanya bergema di dalam ruang jiwaku. Tak mampu meledak keluar laksana bom waktu. Aku ingin menangis….tapi mataku sudah lupa bagaimana wajah tetesan air sejuk itu. Hatiku sudah membeku laksana es abadi di kutub utara sana. Yang tak pernah kunjung mencair bahkan oleh panasnya udara di kotaku ini.
|
Obat |
Sebenarnya aku menyadari kapan awal mula mengidap penyakit ini. Aku tahu betul apa yang menjadi penyebabnya. Tapi tetap saja kubiarkan. Pura-pura acuh tak acuh dengannya. Terus menikmati hari dengan sombong bahwa aku akan tetap baik-baik saja. Dan tanpa terasa waktu telah menghancurkan keangkuhanku. Di balik cengkeramannya, aku terombang ambing tanpa arah. Meniti detik demi detik dalam kesia-siaan. Mengukir hari hari dengan pena dusta, amarah, ego, dendam, dan begitu banyak hal nista lainnya. Dan disinilah aku akhirnya….terpuruk.
Kupandangi lagi obat yang tetap tersenyum menanti uluran tanganku untuk menjangkaunya. Seakan tak pernah lelah untuk membujukku dalam diamnya. Memberi harapan akan kesembuhan. Memberi obor cahaya akan penunjuk jalan di hadapanku.
Tiba-tiba obat itu membiaskan rentetan masa laluku. Memantulkan semua adegan satu persatu pada dinding memoriku. Kubiarkan dan kunikmati saja dengan perlahan. Karena tubuhku memang sudah tak punya daya untuk menepisnya.
“ nak….bapak bersyukur kau sudah mulai membaca sambil memahami maknanya…” wajah almarhum bapak yang sumringah memberi pujian untukku yang saat itu masih duduk di bangku smu. Sambil menahan senyum, rasa senangpun memenuhi dadaku. Menyusul adegan berikutnya telah siap menayangkan diri di hadapan penonton tunggal ini. Yang perlahan menenggelamkan sadarnya dalam buaian tidur yang lelap malam itu.
Rutinitas kumulai lagi. Menyiapkan sarapan untuk suami, memandikan kedua malaikat kecilku, mencuci tumpukan pakaian kotor yang sudah menumpuk dalam ember besar. Hingga tepat pukul sembilan, suamiku pamit untuk bekerja. Aku mengurusi kedua anakku sambil merampungkan sisa pekerjaan rumah. Dan sekitar pukul lima sore, suamiku kembali. Di malam hari, setelah makan bersama, biasanya aku dan anak-anak sudah tertidur. Sementara terkadang suamiku melanjutkan sisa pekerjaannya. Terus berulang seperti itu. Hingga seringkali tubuhku turut memberontak saking jenuhnya. Mengikis sedikit demi sedikit indera perasaku. Rasa akan kasih sayang dan ketulusan. Bahkan untuk mencoba merenungpun sampai tak sempat dilakoni.
Andai boleh mencari alasan, rutinitas inilah yang mencetus rasa sakitku. Hhhh….padahal jauh di lubuk hati ini, aku sadar betul kalau aku sendirilah yang menyebabkan kehancuran diri. Namun tetap saja ego mengalahkan kejujuran. Mereka berdua bergelut hingga menghempaskan satu sisi lainnya. Kupandangi lagi obat penawar sakitku tengah tergolek tak terurus di atas meja usang. Apakah dia sudah menyerah menawarkan khasiatnya?.....saat aku perlahan mengulurkan jemari ingin menyentuhnya, tiba-tiba urung karena mendengar suara tangis si kecil. Segera aku berlalu diiringi raut kecewanya. Kembali dia sendiri dalam diam.
***
Dadaku sesak….pandanganku kosong….seakan ada lubang besar di dinding sukmaku. Aku baru saja bertengkar dengan kakak sulungku. Ingin rasanya mengeluarkan kata-kata pedas yang kujamin akan membuatnya malu. Tapi kutelan….mengingat aku sudah bukan anak kecil yang senang menghamburkan amarahnya tanpa kontrol. Kutenangkan gemuruh napas yang turun naik saking marahnya.
Otakku mereview kembali memori masa lalu. Masa dimana aku belum menderita sakit. Masa dimana raga jiwaku masih hijau. Belum tersentuh tangan tangan ego dan dendam. Polos seumpama anak yang memandang semuanya bukan sebagai beban. Lugu membenarkan semua yang dilihat, didengar dan dirasakan. Membangun kepercayaan di semua lahan kosong yang meminta. Ya Tuhan….apakah hidup sedemikian kerasnya menempaku hingga sanggup menghempaskan semua itu?. Atau karena aku telah kehilangan pegangan?...kulirik kembali obat yang sekarang hampir memalingkan wajahnya. Ahhhh….aku tahu kalau aku pasti akan sembuh dengan mereguk nikmatnya. Rasa sakit ini pasti hilang. Tapi….kembali aku berlalu.
***
Kakakku kritis….kudekap dengan erat tubuhnya yang lemah tak berdaya. Pendarahan hebat menghabiskan kekuatannya. Terus berdoa di dalam hati, aku mencengkeram pundaknya dengan kuat saat menuju rumah sakit. Semua pikiran bercampur aduk menjadi satu. Kueratkan pelukanku untuk mencegah pendarahan lagi dari hidung dan mulutnya. Karena sedikit saja tubuhnya terguncang akibat jalanan yang tak bersahabat, darah akan segera mengalir keluar. Tak kurasakan lagi dinginnya bongkahan es yang kutempelkan ke dadanya. Sekedar untuk membantu mencegah pendarahan. Ibupun membantu menempelkan bongkah es pada ubun-ubunnya sambil terdiam dalam doa yang tak putus. Ya Tuhan….selamatkanlah dia.
Hilanglah semua amarah kemarin….yang memenuhi rongga dadaku saat ini hanyalah rasa iba saat melihat betapa ketabahan telah menjadi karakter kakakku itu. Tanpa keluhan, dirinya hanya duduk diam sambil mendengarkan kami mengobrol dengan para kerabat maupun tetangga yang datang menjenguk. Yang akhirnya kusadari kalau lidahnya saat itu terus dihiasi dzikir. Sesekali tersenyum mendengarkan gurauan kami. Kudekati dengan perlahan dan menanyakan apa yang dirasakannya. Jawabannya begitu lirih hampir tak terdengar, kalau dia hanya sedikit pusing karena ngantuk. Akupun akhirnya meninggalkannya dalam keadaan sudah terlelap, untuk kembali ke rumah.
Aku gelisah dalam tidurku malam itu. Namun tak juga mampu meraba hijab yang menutupi kalbu. Sehingga aku tak bisa memaknai rasa yang mengalir. Kembali memoriku diusik adegan masa lalu….
“ dek, jujur sebenarnya kakak begitu sedih saat harus menitipkan dirimu akhirnya pada suami yang telah menjadi imam untuk hidupmu selanjutnya. Rasanya ingin menangis saat berpisah untuk membiarkan dirimu dibawa oleh pelukan suamimu. Adik kecilku, yang sejak dulu amat kusayangi. Sekarang sudah dewasa melangkahkan kakinya. Semoga Allah senantiasa menjagamu….” Sms itu sontak membuatku terenyuh dan cukup terkejut. Karena kakak sulungku adalah seorang yang teramat pendiam dan tegas. Kata-kata itu pastilah begitu tulus karena bisa terucap darinya.
***
Sakiiiiiiiit…..hatiku makin membatu. Bahkan air mata ibu saat melepas kepergianku untuk kembali ke kampung halaman suamiku, tak mampu mengobatinya. Kakak sulungku sudah membaik dan kembali ke rumah. Akupun bisa pergi dengan tenang. Karena jauh sebelumnya memang sudah berniat untuk pulang. Tapi sakit ini ternyata makin memburuk. Tak ada seorangpun yang menyadarinya. Dan akhirnya gemuruh mesin pesawatpun menenggelamkan sejenak rasa sakit ini.
***
Tuhan….aku takut….aku sudah kebal dengan sakit ini. Sakit yang sudah lama menggerogoti jiwaku. Melumpuhkan semua inderaku. Memenjarakan diri dalam kefanaan duniawi. Kualihkan pandangan kepada obat yang ternyata masih setia mengikutiku hingga ke tempat ini. Apakah tak terlambat jika kureguk sekarang?....tiba-tiba sebuah suara yang lembut terdengar ….yang tak lain berasal dari obat itu.
“ sudah cukup….semua rasa sakitmu hanya akan terus menyiksamu. Karena nuranimu tak mampu berdusta bahwa kau membutuhkanku, wahai hamba Allah yang dhaif….”
Perlahan kutenangkan diri agar bisa mendengarnya lebih jelas,
“ bukankah fitrahmu merindu pada masa lalu…..masa dimana kau selalu mereguk nikmatku dengan mengajakku membicarakan semuanya. Bertanya saat kau ragu….meminta peneguh jiwa saat kau bingung….memohon cahaya saat terjebak di kelamnya malam….”
Kuhampiri meja di hadapanku. Dengan hati-hati kusentuh dirinya dengan jemari kotorku. Mengusap debu yang sudah menyelimutinya…
“ sakitmu tak lain adalah siksa akan kehampaan hidup….jiwamu sakit….sakitmu adalah mati rasa akan semua hal….bukankah jiwamu hampir menumpul?....karena tak kau hiraukan lagi diriku. Kawanmu yang selalu menerangi jalanan di depanmu….”
Aku menyerah…..kulangkahkan kaki dengan pasti. Begitu sejuk saat tetesan air membasahi kedua tanganku, mulut, hidung, wajah, dan bagian lainnya hingga ke telapak kaki. Jiwaku meneduh dengan khusyuknya doa dalam wudhuku.
Perlahan kusentuh dengan lembut kulit berwarna putih yang menyelubungi obat itu. Kuciumi dengan membiarkan harumnya menggilas kepenatan hidup di dahiku. Kubuka dengan hati-hati lembarannya….
Bismillah….ya Allah, aku mohon keteguhan iman….hidayah…..dan pemahaman akan kitab suci berisikan ayat-ayatMu…..
Terbata-bata kubaca dengan suara lirih untaian kalimat nan indah di hadapanku….kureguk sepuas-puasnya nikmatnya…..obatku yang hampir kulupakan….obor penerang yang hampir kupadamkan…Tuhan….kumohon kelembutan hati atasnya. Sembuhkan sakitku ini.
***
Malam itu menyelimuti semua insan dalam lelapnya. Itulah karunia Tuhan yang merupakan sunnatullah. Dimana ada siang untuk menyebar di muka bumi mencari rezekiNya dan ada sang malam untuk mengistirahatkan raga. Jam menunjukkan pukul 04.30 pagi waktu Jogjakarta. Tiba-tiba aku terbangun dan seakan diperintahkan mengambil hp di sebelahku untuk memastikan apakah waktu subuh sudah tiba. Kudapati lima panggilan tak terjawab disana dan sebuah sms. Sambil mengernyitkan dahi, kubuka sms itu…..
“ dek, kakakmu sudah berpulang ke rahmatullah…jam 4 subuh tadi…”
Sontak tangisku tumpah….bagai air bah yang mengaliri gurun yang sudah lama mengering. Sederas hujan membanjiri tanah yang lama diselimuti kemarau.
Ya Allah….ampunilah semua dosa-dosanya…terimalah semua amal kebaikannya….tinggikan derajatnya di sisiMU….selamat jalan kakakku tersayang….
Kutumpahkan tangis dan doa dalam sujudku subuh itu….
SEKIAN
Judul : Obat - Cerpen Islami
Deskripsi : OBAT…. Karya Nurbaniah Aku sakau….rasanya penyakit ini semakin parah…aku butuh obat sekarang juga. Kupandangi obat yang kumaksud tengah...
keyword :
Obat - Cerpen Islami,
Cerpen Islam