NAMA LELAKI ITU
Karya Anjrah Lelono Broto
Nama lelaki itu kutulis dengan tinta berwarna emas, tak hilang di sapuan debu dan tak membeku meski udara dingin mengikis hangatnya nafas di relung jantung dan leherku. Sebelum aku takluk dengan keindahan nama lelaki itu. Sejatinya ibunya, juga bapaknya, orang tua yang tak pernah sama sekali ku cium ujung jari kakinya, telah mengukir sebuah nama yang indah maknanya di dahi lelaki itu. Makna indah yang menjelma menjadi doa bagi dirinya, untuk senantiasa mencari dan berbagi kebahagiaan.
Nama lelaki itu kukenal saat udara masih semampai tumbuhnya, malu-malu lirikannya, dan bulu-bulu di ketiaknya juga belumlah sehitam bola mata lelaki itu. Kukenal nama lelaki itu dari kawanan gerimis yang menyapu tubuhku. Ketika itu, aku sedang segan-senangnya menjala angin. Dalam perjalanannya, tubuhku yang masih mudah terhuyung didesir ingin, kuyup oleh kawanan gerimis.
 |
Nama Lelaki Itu |
Rambutku basah, kawanan gerimis menyelimuti rambutku yang tak pernah ku biar memanjang tunduk kedinginan. Bibirku basah, kawanan gerimis memenuhi wajahku yang masih polos dengan canda yang menggigilkan. Tubuhku basah, kawanan gerimis seakan tak mau sisakan setiap inci dariku untuk tetap kering, dalam diriku sendiri yang hangat.
“Hai, perempuan berparas mawar, kami para kawanan gerimis berharap penuh kau bagi riang tawamu di rinai kami. Rinai kami akan menjadi tiada lengkap tanpa soprano tawa riangmu. Sudikah?”
Sebelum ku jawab dengan seguntingan angguk atau gelengan, kawanan gerimis tersebut telah menjadi menggamit lenganku dan menariknya dalam perjalanan membasah yang menyenangkan. Di trotoar jalan depan sekolahku, kawanan gerimis meninggalkan cubitan di lengan. Akhirnya, aku pun butiran gerimis yang manis.
Di kedipan waktu yang menantangku untuk membagi hangat diriku pada kawanan gerimis yang bersahabat, nama lelaki itu ditiup sepoi kisah pertemanan-kekerabatan jatuh di ingatan benak, mampir menjadi buah bibir, berkuda di laring-faring tanpa banyak kosakata, dan meluruskan kaki dan tangan lelahnya di dada. Nama lelaki itu mengambil nafas gagah, aku hanya memandangnya dengan keterpesonaan yang tak mampu kuwakilkan pada sajak, lagu, atau bunga tanda berterima.
Anehnya, nama itu berhenti di depan taman hatiku. Tanpa mengubur santun yang seakan menjadi irama jalannya, nama lelaki itu tanpa terpaku-tanpa termangu, mengetuk gerbang taman hati dengan tiga kali ketukan yang indah kiranya bila suatu saat kukisahkan pada anak dan cucu, kelak.
Kabar yang dibawa ketukan pertama nama lelaki itu adalah pekabaran tentang kemarau, tentang tanah-tanah retak yang kehilangan kilau, tentang dengus nafas memburu orang-orang lapar yang membuatku ngeri. Aku takut. Tanganku berulang-ulang mencari pegangan yang bisa kupinang. Limbunganku membimbangkan hati. Di antara selaksa tanda tanya yang wira-wiri, aku mengadu nama lelaki yang bukan nama lelaki itu, nama lelaki yang dikarunia dahulunya waktu mengutip mentari.
Nama lelaki yang bukan nama lelaki itu menenangkanku, “Kau harus takut, kau harus ngeri, karena meski kau telah terbusai dalam pesonanya. Nama lelaki itu tiada pernah melihat wajahmu dengan terpikat. Nama lelaki itu memuja bulan, perempuan berparas mawar sepertimu hanya akan menegakkan benang basah jika mengharap ada pikat di pendar pandangnya saat melihatmu,”
Aku mengaduh. Air mataku jatuh. Air mata itu mengalir ke sungai-sungai kecil yang mentahtakan dirinya di depan rumah. Namun air mata itu tidak musnah, tidak menghilang. Bukan karena aku enggan berpisah dengan air mata sedihku, namun kesedihanku telah menjadi requiem tanpa refrain. Sehingga aku terus menjatuhkan air mataku. Lagi. Dan lagi. Hingga matahari datang dan pergi. Hingga malam hari lelah menjadi saksi akan mengurainya air mata ini.
Nama lelaki yang bukan nama lelaki itu ku peluk dengan sayang, namun kau telah menyakitkan hatiku. Ku tak bisa membencinya. Tak bisa. Ada sayang yang lebih, dan mungkin berlebih di kalimat panjangnya tentang nama lelaki itu.
“Karena aku menyayangimu, aku katakan itu,” jawab nama lelaki yang bukan nama lelaki itu seraya menyimpan gumpalan pualam di dadanya, sesak, berat, aku sendiri menyadari beban dan pertarungan yang baru saja dilewatinya.
Kabar yang dibawa ketukan kedua adalah pekabaran tentang musim perjalanan burung-burung. Nama lelaki itu mengabarkan tentang denting dawai perjalanan burung-burung. Perempuan berparas mawar sepertiku hanya bisa menjadi pendengar bermata sembab. Kisah tentang perjalanan burung-burung yang dikabarnya membuatku membuka kembali keyakinan akan indahnya nama lelaki itu sendiri. Aku punya keyakinan purba, nama lelaki itu tidak hanya indah maknanya bagiku, namun akan indah pula maknanya bagi dunia. Sebagaimana makna yang didoa orang tuanya, nama lelaki itu akan mencari-membagi kebahagiaan untuk mayapada.
Hari ini, nama lelaki itu telah mengembangkan sayap yang dulu kuncup dan seakan tak mampu menghangatkan diriku. Tetapi, mengapa santun ketukan ini hadir saat sayap itu bukan untukku, dan aku pun telah melindung di lingkung sayap nama lelaki lain?
Pertanyaaan ini membuncah dalam tarian berkeprak gendang bertalu, suara serunai yang mengiringi tarian itu begitu menghunjam dalam. Telingaku sakit. Tubuhku sakit. Keadaan ini menjadi kesakitan berikutnya setelah kalimat panjang nama lelaki bukan nama lelaki itu yang menyayangiku dalam kesungguhan sederhana. Aku benci pengkhianatan karena ku telah kebal dan menjadi bebal oleh pengkhianatan dan pengkhianatan lelaki lain yang kini senyapkan lingkung sayapnya untukku. Maka, aku juga tak bisa mengkhianatinya, meski ketukan kedua nama lelaki itu terdengar begitu merdu, begitu merdu.
“Aku mengetuk hanya untuk menyampai pesan akan adaku, sebagaimana adanya engkau, perempuan berparas mawar,” santun sapa itu ringkas melayang namun tidaklah ringkas melayang begitu saja di langit taman hatiku.
Kuronce banyak waktuku, dengan mendengar ulang santun sapa nama lelaki itu saat mengetuk gerbang taman hati untuk kali kedua. Aku bahagia mendengarnya. Aku terbang mendengarnya. Aku mengawan mendengarnya. Aku pun menjadi pecandu santun sapanya. Tuhan, apakah ku sudah melakukan pengkhianatan sebagai ritual lelaki lain yang kini senyapkan lingkung sayapnya untukku?
Dalam masaian lelah, aku jumpai sebuah prasasti yang mengukir legenda di balik legenda kalimat panjang nama lelaki yang bukan nama lelaki itu yang menyayangiku dalam kesungguhan sederhana. Prasasti itu bernotah sesal karena lahirnya kalimat panjang di waktu lalu. Menyesal, karena ku begitu mengimani kalimat panjang itu hingga kututup gerbang taman hatiku saat nama lelaki itu mengetuk, untuk kali pertama.
Aku tahu, aku tak bisa membenci siapa pun. Aku tak bisa membenci nama lelaki yang bukan nama lelaki itu yang menyayangiku dalam kesungguhan sederhana, meski dirinya telah melakonkan kisah yang disesalinya sendiri. Aku tak bisa membenci lelaki lain yang kini senyapkan lingkung sayapnya untukku, meski pun dirinya berkali dan berkali mengkhianati kepercayaan perempuan berparas mawar, aku.
Nama lelaki itu akhirnya mengetuk untuk kali yang ketiga. Bersama ketukannya dikabarkan oleh nama lelaki itu tentang musim hujan. Musim yang sediakan air lebih dan lebih, sehingga petani-petani menjadi gumirang, bercocok tanam menjadi alun senandung yang terdengar merdu. Di selipan pekabaran musim hujannya, nama lelaki itu mencium rambutku dan berkisah tentang boyband keluarga Katak yang dengan sadis akan mengeroyok hingga mati salah satu dari mereka yang bersuara fals. Di pekabaran ketukan ketiga nama lelaki itu, aku belajar tentang arti kemanusiaan yang ada padaku.
Tentang arti kemanusiaan yang ada padaku, nampaknya aku harus belajar menguraikannya. Mungkin, dengan lebih dekat mengeja nama lelaki itu aku bisa lebih bijak membaca dan menulis hidupku.
Tuhan, dengarkan doaku.
***
Desember 2011
PROFIL PENULIS
Nama : Anjrah Lelono Broto
Lahir : Jombang, 03 Juli 1979
Alamat : Dsn Jarak, Ds. Jarakkulon No.08 RT 10 RW II, Kec. Jogoroto, Kabupaten Jombang Pendidikan : Alumnus Jurusan Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang.
Kegiatan :
-. menulis esai, cerpen, serta puisi di sejumlah media masa lokal dan nasional (baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Jawa), seperti SURYA, Surabaya Pagi, Harian Umum Pelita, Banjarmasin Post, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Wawasan, Harian Bhirawa, Radar Surabaya, Radar Mojokerto, Kabar Indonesia, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Jurnal Sastra dan Budaya JOMBANGANA, dll.
-. Menjadi penggagas Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI), lembaga pendidikan nir laba yang berbasis peserta didik.
-. Sekarang aktif berkesenian dan berkebudayaan di Teater Kopi Hitam Indonesia, dan menjabat sebagai Bendahara Komite Sastra Dewan Kesenian Jombang (DeKaJo),
KARYA-KARYA
Pribadi :
1. Syukuran (kumpulan naskah monolog, 1998).
2. Lelaki Terbuang (saduran naskah teater Perampok, 1998).
3. Blossom In The Wind (saduran naskah teater, 1999).
4. Melati di Sanggul Mama (antologi puisi, 2001)
5. Lilih (antologi geguritan, 2004).
6. Negeri Di Angan (antologi esay, 2008).
7. Esem Ligan Randha Jombang (antologi geguritan, 2010).
Bersama :
1. PESTA PENYAIR, Antologi Puisi Jatim 2010, terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur.
2. PASEWAKAN, Antologi Cerkak dan Geguritan, terbitan Kongres Sastra Jawa III/PSJB.