MENIADAKAN KENANGAN
Karya Widyadewi Metta
“Tunggu dulu, Sya! Dengerin dulu!”
Ia menahan tanganku dengan cengkraman sekuat elang. Pelupuk mataku semakin penuh dengan genangan air mata.
“Apa lagi? Udah jelas kan, kamu pilih dia.” Ujarku berusaha tenang.
“Ngga, kamu salah. Aku pilih kamu.”
“Kamu pilih aku pada mulanya, bukan pada akhirnya.” Bantahku. “Jangan pikir aku ngga tau kalau selama ini ada hubungan gelap di belakangku.”
Rendy tak dapat menjawab. Hanya menggigit bibir –kemudian tak berani menatap mataku. Aku berusaha melepas tanganku dari kuasanya. Perlahan ia lepaskan –dengan pasti. Ya, aku yakin dia melepaskanku dengan pasti.
“Jaga Brina.” Pesanku sebelum akhirnya meninggalkannya di lapangan basket.
***
 |
Meniadakan Kenangan |
Kejadian itu kembali berputar dalam ingatan. Setiap kali memandang wajah Rendy, seperti terdapat pusaran waktu yang menyeretku menuju masa lalu. Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Sakit yang pernah ia beri –seakan justru kunikmati.
Bibirku selalu mengucapkan benci, tapi hati tetap mencintai. Masih banyak harap yang kutaruh padanya. Aku ingin menjadi teman dalam sepinya, menjadi sedesah suara dalam sunyi, dan menjadi pengisi tiap kekosongannya.
Sebenarnya aku mampu untuk tetap berdiri di labirin hatinya, meskipun aku tau ada yang lain di sana. Iya, aku mampu –sampai kapan pun. Dari hadirnya bulan, hingga terbitnya matahari, hingga matahari ditelan samudra, hingga bulan hadir kembali, hingga .... bulan dan matahari, tak sanggup lagi bertugas. Aku mampu. Tapi aku manusia berakal –tak mungkin sudi bertindak demikian meski mampu.
Aku memilih untuk bertahan sendirian. Entah mempertahankan apa –selain nafas, detak jantung, dan aliran darah yang masih kupunya.
“Bisa jelasin ini?” Tanya seseorang dengan suara lirih.
Aku hafal suara itu. Suara teman sekelasku. Suara murid baru yang dengan ramah mengulurkan tangannya waktu itu. Mengajakku berkenalan, mengajakku bercanda, mengenalkanku pada dunianya, mengajariku cinta, setia, hingga kecewa.
“Elektromagnetik?” Gumamku. “Bisa. Tapi sepertinya kamu akan lebih mudah menangkap dengan perumpamaan.” Jawabku.
“Oke, boleh.” Ia menyetujui. “Dari awal, ya. Soalnya aku ngga mudheng semua.” Tawarnya, kuberi anggukan.
Seperti inilah kami setelah kejadian beberapa bulan yang lalu. Kami tak banyak mengobrol, hanya sekedar bertukar pikiran mengenai pelajaran. Itupun tidak selamanya kutanggapi.
“Misalkan saja aku sebagai baja, dan kamu sebagai aliran listrik.” Lanjutku.
Ia mengangguk dan terlihat tertarik.
“Perlahan-lahan tapi teratur, kamu aliri arusmu hingga masuk ke dalam tubuhku. Aku sebagai baja yang merupakan paramagnetik. Paramagnetik hanya dapat menjadi magnet bila melalui proses. Aku bukan feromagnetik yang mudah menerima siapa saja. Juga bukan diamagnetik yang selalu menolak mentah-mentah siapa pun yang mendekatinya.”
Hening. Rendy mulai menatapku dengan kehangatan yang masih utuh seperti dulu.
“Kamu berperan sebagai batrai yang mengaliri listrik pada baja. Membuat baja menjadi magnet memang membutuhkan waktu yang lama, membuatnya juga tidak terbilang gampang. Namun setelah baja menjadi magnet, sifatnya pun akan permanen.”
Kembali hening untuk kedua kalinya.
“Tercipta melalui proses yang lama, yang memang disengaja, dan hasil akhir selalu bersifat permanen. Misal listrik adalah cinta, ia termasuk cinta yang tidak akan mudah berubah –meskipun kamu diamkan berjam-jam bahkan bertahun-tahun.” Tuturku menutup penjelasan.
“Seratus persen, paham.” Ungkapnya dengan ekspresi cengoh.
“Sudah mencakup materi dari awal kan? Ada yang ngga aku sertain sih, tapi menurutku bisa kamu pelajari sendiri.” Kataku.
“Makasih, ya.” Ucapnya dengan secuil senyuman. Kepalaku mengangguk pelan. “Nanti sore temenin main basket di tempat biasanya, bisa?” Tanyanya dengan ragu.
Aku berusaha mengingat tempat yang ia maksud. “Tempat kita berantem?”
Rendy tampak tercekat. “Jangan kasih nama jelek gitu dong.” Protesnya.
“Sori, ngga bisa.” Jawabku. “Sudah ada Brina, kan? Kenapa ngga ngajak dia?”
“Pokoknya nanti sore aku jemput kamu.”
***
Bodoh atau tidak, aku memutuskan menemani Rendy bermain basket sore ini.
Hari ini merupakan kisah yang membaik antara hubungan kami semenjak aku dan Rendy bukan lagi ‘satu’. Biasanya kami hanya ngobrol bila perlu –karna sama canggungnya. Kami pun seringkali berpapasan tanpa menyapa. Dan hari ini, seperti hari baru ketika pertama kali mengenal Rendy. Layaknya tidak pernah ada masalah apa-apa di antara kami. Kami tertawa lepas tanpa beban, mengejek kenangan, dan melupakan tentang adanya jarak diantara kami.
“Gila kamu! Bisa-bisanyaaa.” Cemoohku.
“Beneran ngga sengaja, Sya. Di tengah jalan aku ngrasa ada yang aneh. Biasanya Brina kepo gitu di jalan, tapi kok tiba-tiba jadi hening.”
Rendy bercerita dengan tawa yang ditahan. Aku sebagai pendengar dan penikmat mimiknya –sudah tergelak-gelak.
“Eh, ternyata orangnya ketinggalan di pom bensin!” Seru Rendy tanpa dosa. Ia tertawa penuh kemenangan.
“Jadi pas kamu ngisi, dia kamu suruh minggir dulu gitu?”
“Iyalah. Dia keasyikan smsan, sampai ngga tau kalau motorku udah jalan.”
Semenjak itu, aku dan Rendy justru semakin dekat lagi. Banyak waktu yang ia luangkan untukku. Entah untuk main basket bareng, jalan-jalan ke mall, menelusur toko buku dengan ke-sok-tauan kami tentang penulis-penulis yang namanya terukir pada cover-cover, menjelajah food court, hunting, sampai menikmati senja di atap sekolah.
“Sya, nanti sore kita ke atap. Oke?” Ajak Rendy.
“Siap, Bos!”
***
Langit mulai menampilkan merah-jingganya. Aku dan Rendy duduk berdua sambil bercengkrama menikmati senja.
Angin terus menabuh rambut Rendy. Bagaskara yang sebentar lagi berpamitan, masih terus berusaha menghangatkannya.
“Kapan kamu keluar dengan Brina?” Tanyaku karna merasa dia lebih banyak menghabiskan waktunya denganku.
“Kapan pun bisa. Kapan-kapan ajalah.” Jawabnya santai.
Terbesit perasaan bersalah dalam diriku. Aku bukan merampas hal yang sepatutnya menjadi milikku. Aku merampas waktu yang seharusnya Rendy lewati bersama Brina. Aku merampas sesuatu yang tidak pantas.
***
“Kemarin habis dari atap sama Kak Rendy, Kak?”
Kubalikkan badanku. Brina.
“Hah?” Aku gugup, bingung harus menjawab apa.
Brina tertawa kecil. “Aku tau kok, Kak. Nggapapa.” Ujarnya.
Hatiku miris mendengar ucapan Brina. Jarinya terlihat mencengkram sudut buku yang ia bawa. Seperti ada sesuatu yang ia tahan, entah air mata, atau mungkin amarah.
“Maafin aku ya, Kak. Aku tau kalau Kak Tasya pacarnya Kak Rendy, tapi aku tetap mau dijadiin pacar.” Ungkap Brina dengan kepala menunduk.
“Dia udah milih kamu, Na. Hubungan kami sudah selesai.” Aku berusaha menjelaskan.
“Tapi Kak Rendy lebih banyak meluangkan waktu buat kakak. Aku rasa, dia lebih sayang sama kakak.”
Jantungku mendadak berhenti berdetak. Oksigen yang berkeliaran di sekitarku, tak dapat kuhirup sedikitpun. Dan tiba-tiba Brina pergi begitu saja.
Dari kejauhan, kulihat Rendy sedang berjalan ke arahku dengan senyum tanpa beban. “Sya, nanti sore kita ke...”
“Aku ngga mau pergi-pergi bareng kamu lagi.” Jawabku cepat.
“Kenapa?” Tanya Rendy dengan penuh keheranan.
Aku menarik nafas dalam-dalam. “Ndy, kamu itu punya Brina! Brina selalu nunggu untuk kamu datengin!”
Aku langsung pergi meninggalkan Rendy. Tidak ada seruan yang kudengar darinya. Dia hanya memaku memandang punggungku yang kian menjauh. Aku yakin, dia menyayangi Brina –dan tidak mencintaiku dengan sebenar-benarnya. Bila benar dia mencintaiku, tidak mungkin terbesit keinginan untuk menduakan, bukan?
Aku terlalu bodoh. Mau-maunya menerima ajakan Rendy akhir-akhir ini. Memang membahagiakan untukku, namun menyakitkan untuk orang lain.
Aku telah tersakiti, tapi tidak pernah ada cita-cita untuk balik menyakiti orang yang sudah menyakitiku. Aku tidak pernah punya keinginan untuk merampas kebahagiaan orang lain.
Sekarang yang harus kulakukan adalah meniadakan segala kenangan. Aku harus kuat, tidak boleh lagi terseret bayangan masa lalu. Sulit memang –ketika hati kita tertambat pada seseorang yang semestinya kita benci.
Karna dia telah melepasku dengan pasti, aku pun harus.
PROFIL PENULIS
Nama : Widyadewi Metta Adya
TTL : Solo, 13 Desember 1997
Email : adyawidya@gmail.com
Twitter: @wdymetta
Facebook: Widyadewi Metta