CINTA UNTUK BUNDA
Karya Nur Lisa
Aku lelah…
Aku bosan…
Ingin rasanya aku menghilang dari rumah ini. Kata orang rumah adalah surga, tapi buat aku rumah adalah neraka. Tidak ada kedamaian yang aku dapat di rumah ini. Kadang aku berencana untuk kabur saja dari rumah agar terbebas dari kehidupan keluarga yang begitu rumit. Aku ingin menjalani masa remaja yang normal seperti anak-anak yang lain. Tapi aku tidak pernah melakukan rencana itu. Satu-satunya alasan aku bertahan di rumah ini adalah bunda. Hanya bunda yang menganggap aku ada di rumah ini.
Malam sudah semakin larut, tapi aku belum mampu memejamkan mataku. Berbagai pikiran licik terlintas di benakku. Pikiran-pikiran aneh yang memintaku hengkang dari rumah ini. Meninggalkan keluarga dan orang-orang yang hanya menorehkan luka di hatiku. Tapi bagaimana dengan bunda jika aku pergi dari rumah? Aku tidak tega meninggalkan bunda di rumah ini. Tiba-tiba…
 |
Cinta Untuk Bunda |
Prang……
Lamunanku buyar. Pikiran-pikiran aneh itupun ikut lenyap. Aku tersadar dari lamunanku mendengar pecahan kaca. Suara itu berasal dari dapur. Buru-buru kulangkahkan kakiku menuju dapur. Tapi sebelum aku sampai ke dapur, ku dengar suara ayah marah-marah. Lagi-lagi pertengkaran itu terjadi. Ini bukan pertama kalinya ayah dan bunda bertengkar. Aku sudah sering melihat mereka bertengkar. Karena itu aku tidak betah berada di rumah. Ku lihat bunda tertunduk sambil menangis tanpa berani menatap wajah ayah yang sedang marah-marah. Hati ku begitu sakit melihat bunda menangis. Ingin rasanya aku memeluk dan membawa bunda pergi dari hadapan ayah. Tapi aku tidak berani ikut campur. Aku hanya bisa memperhatikan bunda dari balik pintu.
Setelah ku lihat ayah keluar dari dapur, bergegas aku menghampiri bunda dan memeluknya. Kuseka air mataku agar bunda tidak melihatnya. Aku tidak mau membuat bunda tambah sedih.
“bunda yang sabar ya. meskipun sulit bunda harus kuat. Cinta yakin, suatu saat ayah pasti berubah”. Aku berusaha menenangkan bunda. Aku yakin bunda pasti sangat sedih.
“bunda tidak apa-apa. Bunda baik-baik saja”. Bunda berusaha tersenyum di depanku. Ia tidak ingin aku khawatir karenanya.
“lebih baik bunda istirahat saja. Biar Cinta yang bersihkan pecahan piringnya. Lagipula, pasti bunda sudah capek kerja seharian.”
“tidak apa-apa Cinta, biar bunda yang bersihkan. Lebih baik kamu tidur. Besok kan kamu harus sekolah?” bunda lalu mengambil sapu untuk membersihkan pecahan piring itu. Tapi cepat-cepat kurebut sapu itu dari tangannya.
“ bunda, besokkan hari Minggu, Cinta libur. Jadi, biar Cinta yang bersihkan semuanya. Kalau memang bunda belum ngantuk, bunda duduk aja di sini. Cinta bukan anak kecil lagi. Pekerjaan seperti ini sih kecil bunda…”. Aku berusaha menghibur bunda. Sekilas kulihat senyum dibibirnya.
“wah, akhirnya bunda senyum juga. Gitu dong bunda, kalau bunda senyum jadi tambah cantik. Cinta jadi tambah semangat. Ya sudah, bunda duduk manis aja disini. Biar Cinta yang bersih-bersih. Dijamin semuanya beres.” Segera kusapu pecahan piring itu dan memasukkannnya ke tempat sampah. Setelah selesai, aku menghampiri bunda.
“ beres kan bunda? Cinta bilang juga apa, kalau Cinta yang ngerjain pasti cepat selesai”.
“ iya deh. Cinta kan hebat.” Bunda mengacungkan jempolnya sambil tersenyum.
“ Cinta cuci kaki dulu ya bunda.” Buru-buru aku melangkah ke kamar mandi untuk cuci kaki, sambil menahan rasa sakit karena tergores pecahan piring. Aku tidak mau bunda khawatir hanya karena luka kecil ini.
Setelah selesai, aku langsung masuk ke kamar. Aku pikir bunda sudah ke kamarnya karena aku tidak melihatnya lagi di meja makan ketika ke luar dari kamar mandi. Tiba-tiba kudengar pintu kamarku diketuk. Ketika aku membuka pintu, aku kaget melihat bunda berdiri di depan pintu kamarku. Terlebih kaget lagi ketika melihat kotak obat yang dibawanya. Bunda langsung masuk ke kamarku dan duduk di tepi ranjang.
“bunda, kenapa belum tidur? Kotak obat itu untuk apa?” aku pura-pura tidak tahu maksud bunda dengan kotak obat itu.
“sudah, tidak usah pura-pura bodoh. Mana kaki kamu? Biar bunda obati.” Bunda kemudian membuka kotak obatnya.
“ kaki Cinta tidak apa-apa bunda.” Aku tetap saja mengelak.
“Cinta, bunda tahu kalau kaki kamu pasti luka gara-gara pecahan piring itu. Sejak kecil bunda yang merawat kamu. Bunda tahu banyak tentang kamu. Cinta itu orangnya ceroboh. Bunda yakin, Cinta tidak mungkin baik-baik saja. Jadi, cinta tidak usah bohong sama bunda.” Akhirnya aku tidak bisa mengelak lagi.
Ku tunjukkan kakiku yang terluka. Dengan hati-hati bunda mengobati lukaku dan membalutnya dengan perban.
“makasih ya bunda. Cinta sayang sama bunda”. Ku peluk bunda dengan erat. Tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku. Cepat-cepat ku seka air mataku agar bunda tidak melihatnya.
“Bunda juga sayang sama Cinta. Ya sudah, sekarang Cinta tidur.” Aku merebahkan badanku sementara bunda menyelimutiku lalu mencium keningku. Bunda kemudian menutup pintu kamarku dan ia kembali ke kamarnya. Sebelum aku tidur, aku berdoa semoga besok semuanya akan menjadi lebih baik. Malam itu aku tidur dengan nyenyak.
***
Mentari pagi menyusup ke kamarku melalui jendela kaca yang hanya tertutup tirai putih tipis. Aku segera bangkit. Ku buka jendela untuk menghirup udara segar.
“ ah,,,,,segarnya…” ku rasakan udara pagi mengisi rongga dadaku. Mentari pagi menyapa dengan kehangatannya. Setelah puas menikmati udara pagi, aku keluar dari kamar untuk menemui bunda. Tapi aku sama sekali tidak melihat bunda. Aku pikir mungkin bunda ke pasar untuk belanja. Melihat kondisi rumah yang masih berantakan, aku putuskan untuk bersih-bersih. Lagipula aku sedang libur. Setidaknya aku bisa mengurangi sedikit pekerjaan bunda. Kasian kalau bunda harus mengerjakan semuanya.
Mentari sudah semakin tinggi, tapi bunda belum juga pulang. Ayah juga sedang pergi. Tidak tahu kemana. Aku tidak berani mencampuri urusan ayah. Sementara kakak perempuanku masih terlelap. Aku juga tidak berani membangunkannya. Aku begitu mengkhawatirkan bunda. Aku takut dia kenapa-kenapa. Satu-satunya yang peduli sama aku di rumah ini hanya bunda. Ayah tak pernah memperdulikanku sejak aku kecil. Ia hanya peduli sama kakak. Aku juga tidak tahu kenapa. Sementara kak Naira, dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri.
Kadang aku merasa iri melihat kedekatan kak Naira dengan ayah. Ayah terlalu memanjakan kakak tanpa pernah peduli padaku. Semua keinginan kakak selalu dituruti. Sementara aku, sekalipun ayah tidak pernah mau mengabulkan permintaan aku. Sikap ayah yang terlalu memanjakan kakak membuatnya ia semakin egois. Kadang aku kesal dan marah karena merasa tertindas. Kakak selalu iri dengan apa yang aku punya dan ingin memilikinya. Padahal aku yakin, ia bisa dapat lebih jika ia minta sama ayah. Kakak tidak senang melihat aku bahagia. Entah kenapa ia begitu benci padaku. Ditambah lagi semenjak ayah dan bunda sering bertengkar. Kakak sering menyalahkan aku atas pertengkaran mereka. Aku semakin heran, mengapa aku disangkut pautkan dengan pertengkaran ayah dan bunda. Setiap kali aku bertanya pada bunda, ia tidak pernah mau memberi tahu aku kenapa kakak selalu menyalahkan aku atas pertengkaran ayah dan bunda.
Hingga suatu hari, tanpa sengaja kakak membongkar semuanya. Waktu itu aku sedang bertengkar dengan kakak gara-gara ia menghilangkan cincin yang dibelikan bunda sebagai hadiah ulang tahunku yang ke 17. Gara-gara cincin itu hilang, bunda marah padaku. Aku tidak bisa lagi bersabar menghadapi sikapnya yang menyebalkan.
“kakak kenapa ngilangin cincinnya Cinta? Cincin itu satu-satunya punya Cinta dan itu penting banget buat Cinta karena itu hadiah dari bunda. Kakak kenapa jahat banget sama Cinta.” Aku pikir kakak akan menyesal dan minta maaf,tapi aku salah. Dia bahkan tidak merasa bersalah sedikitpun.
“memangnya kenapa kalau cincin kamu hilang? Cincin itu Cuma cincin murahan. Kalau aku mau, aku bisa beli yang lebih bagus dari itu.” Aku semakin kesal dengan sikapnya.
“kak, cincin itu memang murah. Tapi itu pemberian bunda. Kalau memang kakak bisa beli yang lebih bagus, kenapa kakak pakai cincin Cinta dan menghilangkannya? Bukan Cuma cincin itu aja. Semua benda kesayangan Cinta kakak ambil dan ujung-ujungnya hilang atau rusak. Kenapa sih, kakak tidak pernah mau melihat Cinta bahagia?” air mataku mulai menetes membasahi pipiku.
“apa? Bahagia? Kamu tuh tidak pantas bahagia. Gara-gara kamu, ayah dan bunda selalu bertengkar. Di rumah ini tuh tidak ada kebahagiaan. yang ada hanya kebencian.” Kata-kata kakak semakin menyakitkan untuk didengarkan.
“maksud kakak apa? Kenapa kakak selalu mengatakan kalau Cinta penyebab pertengkaran ayah dan bunda?” aku benar-benar ingin tahu kenapa kakak selalu melibatkan aku dengan pertengkaran ayah dan bunda.
“ oh, jadi kamu belum tahu? Kamu tuh bukan siapa-siapa di rumah ini. Jangan panggil aku kakak, karena aku bukan kakak kamu. Kamu tahu, kenapa ayah tidak pernah peduli sama kamu? Itu karena kamu bukan anak ayah”. Kata-kata kakak benar-benar mengagetkanku. Aku merasa seperti tersambar petir disiang bolong. Tiba-tiba pandanganku kabur. Kakiku terasa kelu dan akhirnya terjatuh ke lantai. Tanpa merasa bersalah dan kasihan, kakak berlalu meninggalkanku.
Sejak hari itu, pikiranku semakin tidak karuan. Aku juga tidak berani menanyakan hal itu pada bunda. Aku takut bunda marah. Aku ingin bunda sendiri yang menceritakan semuanya. Meskipun semua itu benar, aku yakin bunda punya alasan yang tepat mengapa ia tidak memberitahu aku tentang kebenaran itu.
Bunda menyadari perubahan sikap aku. Ketika aku sedang melamun di kamar, bunda datang menghampiriku.
“Cinta, akhir-akhir ini bunda perkatikan Cinta sering melamun. Ada apa sayang?” bunda mengusap kepalaku dengan lembut. Aku merasa sedikit lebih tenang.
“Cinta tidak apa bunda.” Aku berusaha mengelak.
“Cinta, bunda tahu, pasti ada sesuatu yang mengganggu pikiran Cinta. Sekarang Cinta cerita sama bunda.” Mungkin sudah saatnya aku minta penjelasan dari bunda. Ku beranikan diri untuk menanyakan kebenaran itu pada bunda.
“ Bunda, apa benar kalau Cinta bukan anak ayah?” aku tidak berani menatap wajah bunda. Aku menunggu jawaban bunda sambil tertunduk menatap lantai.
“ Cinta, kenapa kamu menanyakan itu? Kalau kamu bukan anak ayah, lalu kamu anak siapa? Memangnya siapa yang bilang kalau kamu bukan anak ayah?” bunda tetap sabar menghadapi aku.
“ beberapa hari yang lalu, kakak bilang kalau Cinta bukan anak ayah. Kakak juga bilang kalau ayah dan bunda bertengkar gara-gara Cinta. Apa itu benar bunda?” air mataku mulai tumpah setiap kali aku mengingat kata-kata kakak.
“ Cinta itu anak ayah dan bunda. Jangan dengarkan kata kakak. Ia tidak tahu apa-apa. Percaya sama bunda.” Bunda berusaha menenangkanku.
“ kalau memang Cinta anak ayah, kenapa ayah tidak pernah perduli sama Cinta?” aku masih tidak percaya.
“kalau memang Cinta mau tahu, bunda akan ceritakan. Dulu, sebelum Cinta lahir ayah selalu kerja keluar kota selama beberapa bulan. Waktu itu bunda tidak tahu kalau sedang hamil. Ayah di tugaskan keluar kota selama 3 bulan. Entah siapa yang mengarang cerita kalau bunda sering ketemu dengan mantan pacar bunda. Awalnya ayah tidak percaya, tapi lama kelamaan ayah mulai terpengaruh. Hingga suatu hari, ibu keserempet motor waktu pulang dari pasar. Kebetulan mantan pacar bunda ada di lokasi kejadian. Dia mengantar bunda pulang. Melihat bunda bersama laki-laki lain, ayah marah dan menuduh bunda berselingkuh. Ayah yang dasarnya keras kepala tidak mau mendengarkan penjelasan bunda. Ayah justru menyuruh bunda aborsi. Tapi bunda tidak mau, bayi yang bunda kandung adalah anak ayah. Sejak saat itu, ayah selalu bersikap kasar sama bunda. Bunda minta maaf, karena gara-gara bunda, cinta jadi menderita.” Bunda memelukku dengan erat. Aku tak mampu menahan air mataku. Aku merasa bersalah karena telah berpikiran aneh tentang bunda.
“ harusnya Cinta yang minta maaf bunda, gara-gara Cinta ayah selalu bersikap kasar sama bunda.” Bunda melepaskan pelukannya. Dengan lembut, bunda menyeka air mataku dengan tangannya dan mencium keningku.
“ sekarang Cinta sudah tahu yang sebenarnya. Cinta harus bersabar n berdoa semosa ayah segera sadar akan kenyataan bahwa Cinta juga anak ayah.”akhirnya kegelisahanku selama ini dapat terselesaikan.
Dering telepon mencairkan suasana. Bunda segera keluar dari kamarku. Tiba-tiba ku dengar suara bunda menangis. Aku segera keluar kamar dan menghampiri bunda.
“ ada apa bunda? Kenapa bunda menangis?”aku penasaran,apa sebenarnya yang terjadi. Kenapa bunda langsung menangis setelah menerima telepon.
“ayah, Cinta. Ayah kecelakaan. Sekarang ada di rumah sakit. Kita harus ke rumah sakit sekarang”. Cepat-cepat bunda masuk ke kamarnya mengambil dompet, kemudian kami berangkat ke rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit, aku melihat kakak sedang mengangis di depan UGD. Aku dan bunda segera menghampirinya.
“bagaimana keadaan ayah?”Tanya bunda khawatir.
“kata dokter, kondisi ayah kritis. Ayah banyak kehilangan darah. Ayah butuh donor darah karena persediaan darah AB di rumah sakit ini kosong. Golongan darah aku tidak cocok dengan golongan darah ayah.”kakak masih saja menangis.
“bunda, golongan darah Cinta, AB. Cinta mau donorin darah buat ayah. Yang penting ayah bisa sembuh. Cinta ikhlas bunda.” Bunda kemudian memelukku. ”makasih sayang. semoga ayah bisa cepat sembuh”. Transfusi darahpun dilakukan. Tiga hari kemudian, kondisi ayah mulai membaik. Tapi aku tidak berani menemuinya. Aku hanya melihatnya dari pintu. Aku bersyukur, aku bisa menolong ayah. Meskipun selama ini ayah tidak perduli, tapi aku berharap ayah bisa berubah.
Samar-samar kudengar namaku disebut. Seseorang memanggil namaku. Betapa kagetnya aku, untuk pertama kalinya ayah memanggilku. Ia memintaku masuk kamar perawatannya.
“Cinta, ayah minta maaf. Selama ini ayah sudah jahat sama Cinta. Ayah tidak pernah peduli sama Cinta. Ayah juga mau mengucapkan terima kasih, karena Cinta sudah mau mendonorkan darah buat ayah, meskipun selama ini ayah tidak pernah perduli sama Cinta.” suara ayah terdengar begitu lemah. Air mataku tumpah saat itu juga. Air mata bahagia, karena akhirnya ayah mau melihatku.
“ayah, Cinta yang seharusnya minta maaf karena tidak bisa menjadi anak yang baik buat ayah. Ayah tidak perlu berterima kasih sama Cinta karena sudah kewajiban Cinta untuk menolong ayah. Cinta Cuma berharap, semoga keluarga kita bisa berkumpul bersama kembali setelah ayah sembuh. “ iya sayang, ayah janji. Ayah akan jadi suami yang baik buat bunda dan ayah yang baik buat Cinta dan Naira. Ayah sayang sama kalian semua”. Akhirnya keluarga ini utuh kembali. Ayah sadar dan mengakui kesalah pahamannya dengan bunda. Kebahagiaanpun menghampiri keluarga kami. Itu semua karena kesabaran bunda menghadapi hidup. I Love You Bunda.
The End
PROFIL PENULIS
Nur Lisa yang kerap disapa lisha,seorang mahasiswa sastra di fakultas bahasa dan sastra indonesia Universitas Negeri Makassar.terlahir dalam keluarga sederhana pada tanggal 25 November 1992 disebuah pulau kecil bernama pulau selayar tepatnya di sebelah selatan pulau sulawesi.