KURSI AYAH
Karya Silvia S.
“ayah, Nina berangkat dulu …” ucapku sambil mencium tangan ayah yang selalu memberikan kehangatan. Ayah tak mampu berucap, tapi dari sorot matanya aku yakin ayah ingin menyampaikan sesuatu padaku.
Namaku Nina, aku dibesarkan di tengah keluarga yang sederhana, namun dengan kedua orang tua yang luar biasa. Aku hanya tinggal bersama ayah dan ibuku. Keluargaku memang sederhana, sesederhana cara mereka menyampaikan kasih sayangnya, namun begitu luar biasa ku rasa. Aku bahagia dengan kehidupanku yang sekarang. Hingga pada suatu hari, Ayah menderita suatu penyakit yang entah apa namanya. Tiba-tiba ayah tidak bisa berjalan dan tak ada 1 kata pun yang keluar dari mulutnya. Berhari-hari bahkan berminggu-minggu, ayah hanya terbaring di kasur tuanya. Aku dan ibu sangat terpukul dengan hal ini. Tubuh kekar ayah kini tak lagi nampak, keriput-keriput di sudut matanya kini kebih jelas terlihat. Tak ada lagi badan gagah yang selalu menggendongku seperti dulu. Kini, ayah hanya bisa menghabiskan sisa waktunya diatas kursi rodanya. Kehidupan kami pun semakin memburuk. Ibu yang hanya sebagai ibu rumah tangga tak bisa berbuat banyak, dia hanya bekerja sebisanya. Perabotan rumah pun satu-persatu berpindah kepada pemilik barunya. Apapun yang masih bisa di jual, tak perlu berpikir panjang pasti akan segera dijual demi pengobatan ayah. Aku bisa melihat keletihan yang luar biasa di mata ibu. Setiap hari dia mencuci pakaian para tetangga untuk mencukupi hidup kita, walau hasilnya tidak seberapa. Namun, meskipun keadaan ekonomi kita semakin memburuk, ibu tetap tersenyum, dan masih setia merawat ayah.
“Nina … kamu sudah sarapan ?” suara ibu membuyarkan lamunanku. “sudah bu … nina berangkat dulu bu :)” jawabku sambil menjabat tangan hangat ibu.
 |
Kursi Ayah |
Kkrreeekk … krreeekkk .. belum sempat aku melangkahkan kakiku lebih jauh, suara kursi roda ayah menjerit. Hal ini menusuk hatiku. Kursi roda itu satu-satunya alat yang sangat membantu ayah. Kini kursi roda tersebut telah berkarat, telah habis dimakan usia dan sudah saatnya untuk diganti. “Ibu .. kursi roda ayah” . “iya nak .. ibu sudah menabung untuk membelikan kursi Ayahmu, tapi uang ibu belum cukup” jawab ibuku. Terlihat segurat kesedihan tergambar jelas diwajah ibu. Aku tak tega melihat ibu dan ayah seperti ini. “ya sudah nak … kamu cepat berangkat!” perintah ibuku. “iya bu ..” jawabku singkat. Aku tak mungkin hanya tinggal diam melihat kondisi ekonomi keluargaku seperti ini, aku berusaha mencari pekerjaan, tapi tak banyak yang bisa kulakukan. Aku hanya seorang gadis yang baru menginjak bangku SMA, tentu aku masih belum punya banyak pengalaman.
***
Aku berjalan gontai menuju kelasku. Beban ini terlalu berat untuk aku pikul sendiri. “hey … kok ngelamun sih” suara Indra mengagetkanku. Dia adalah sahabatku. “Indra … ah gak papa kok” jawabku sekenanya. Aku ingin sekali bercerita padanya, tapi mulut ini selalu saja terkunci saat aku ingin bercerita. Kini aku telah berada di kelas. Duduk manis mendengarkan guru yang berceramah di depan kelas, namun sayang tak ada satu katapun yang tersangkut di kepalaku. Aku tak tau, ragaku memang disini, tapi otakku pergi menjauh menghampiri ayah dan ibu. Aku pun pulang dengan tak membawa ilmu sedikitpun hari itu.
***
Aku duduk di ruang tamu mungilku ini, memandangi ayah yang sedang bersantai di beranda rumah. Ibu menghampiriku, duduk disampingku dan sekali lagi suara-suara itu datang lagi. Krreekk .. kreekk . kini kursi di ruang tamu seakan tak mau kalah. Mereka berdemo meminta untuk segera diganti. “kursinya nina .. mungkin sudah harus segera diganti.” Ucap ibuku sambil menatap kursi itu. Aku hanya bisa tersenyum. ’mungkin bukan hanya kursi ini bu, tapi semua perabotan yang ada’ ucapku dalam hati. Satu persatu perabotan yang masih ada berdemo meminta untuk segera diganti. Aku berfikir keras bagaimana caranya supaya bisa mendapatkan cukup uang untuk mengganti perabotan rumah terutama kursi roda ayah. Berhari-hari aku mencari pekerjaan, aku sempat membantu mencuci piring di sebuah rumah makan dekat rumah ku. Yah, walaupun hasilnya tidak seberapa aku bisa menabung dengan hasil jerih payahku itu.
Hingga suatu hari, di sekolah ada pengumuman akan diadakan olimpiade bahasa inggris yang hadiahnya lumayan bisa membeli kursi roda ayah dan perabotan lainnya. Siang malam aku terus berusaha belajar dengan giat, demi memenangkan olimpiade tersebut. aku juga mendapat bimbingan dari guruku. Ibu juga selalu menyemangatiku, itulah yang membuatku semakin bertekad memenangkan olimpiade tersebut.
***
Hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba. Aku selalu berdo’a kepada Tuhan agar selalu membantuku. Aku meminta restu kepada ibu dan tak lupa kepada ayah. “ayah .. nina berangkat dulu, do’akan nina ya yah .. ” aku menjabat tangan ayah dan menciumnya, kemudian aku letakkan kembali di gagang kursi roda tersebut. butir bening membasahi kedua pipi ayah. Aku yakin, ayah ingin mengatakan sesuatu, terlihat jelas di raut wajahnya. ‘tenang yah … Nina akan berusaha’ ucapku dalam hati. Aku bersemangat pergi kesekolah dan ingin sekali memenangkan olimpiade ini. Satu-persatu teman-temanku memberikan semangat padaku terutama Indra. Selama ini, selain ibu Indra lah yang selalu menyemangatiku. “sekarang waktunya” ucap Indra. “iya :)” jawabku sambil menampakkan segurat senyuman di bibir mungilku.
Perlombaan pun dimulai …
Sesi pertama adalah ‘writing’. Tidak ada hal yang terlalu menyulitkanku. Alhamdulillah aku lolos ke sesi berikutnya. Pada sesi kedua, adalah ‘listening’. Sedikit sulit memang karena aku kurang terbiasa dan jarang mempraktekannya. Aku bersusah payah menjawab berderet pertanyaan yang diajukan kepadaku. Akhirnya tahap inipun selesai. Juri mengumumkan siapa yang akan masuk ke babak final. Peluh-peluh ku menetes satu persatu tanpa seijinku. Jantungku berdegup cepat ketika juri menyebut namaku. ‘ayah … ibu Nina pasti bisa’ ucapku dalam hati. Kini hanya tinggal 1 langkah lagi, ‘speaking’. Ya .. pada sesi ini aku tak tahu harus bercerita apa, dan harus berbicara apa. ‘sudahlah ..’ ucapku dalam hati. Akhirnya aku menceritakan tentang kehidupan pribadiku dan semua pengalamanku. Aku mencoba memberi motivasi untuk semuanya.
“Life is not as easy as we imagine. my life is not as beautiful and happy as you are, but happy life is when we have a family that loves us. like my life, I lived a simple life, but I was raised by parents were outstanding. my parents are my strength” aku menutup pidato ku. Tak kusangka, semua berdiri memberikan standing applausenya.
“baiklah.. sebentar lagi kita akan mengetahui siapa pemenang pada olimpade kali ini” ucap salah satu juri. Tanganku dingin, tubuhku bergetar menunggu hasil pengumuman itu. Indra berdiri disampingku, dia menggenggam tanganku. “kamu harus yakin nin ..” ucap indra. “iya :)” jawabku sambil menyunggingkan sedikit senyum. Aku menggenggam erat tangan indra. “dan … olimpide kali ini .. dimenangkan oleh …” aku memejamkan mataku, tanganku semakin erat menggenggam tangan indra dan terus berdo’a agar namaku yang disebut. “Nina Oktaviani .. dari SMA Harapan Bangsa”. “yyeeeee” Indra berteriak, aku masih belum percaya apa yang aku dengar tadi, ya namaku disebut. “Nin .. Nina .. kamu menang, aku bangga padamu” ucap indra sambil memelukku. “a …a .. apa ..aku menang ?” jawabku gugup sekaligus tak percaya. “iya. Sudah cepat naik” perintah indra. Aku menerima hadiah yang selama ini memang aku tunggu. Aku tak berhenti mengucap syukur. ‘ayah .. tunggu nina’ gumamku dalam hati. Aku tak berlama-lama berada di sekolah. Aku langsung pergi membeli kursi roda ayah. Aku berlari sambil membawa kursi roda tersebut pulang kerumah. Berat memang, tapi tak ada cara lain, karena jalanan macet, aku tak mungkin membawa kursi roda tersebut dengan mengendarai angkot. Aku sudah tak sabar ingin menunjukkannya pada ayah, dan aku lebih memilih untuk berjalan kaki saja. Aku tak sabar ingin memberikannya pada ayah, pasti dia sangat senang.
***
Dengan bersusah payah, akhirnya aku sampai juga dirumah. Tapi tunggu, bendera kuning? Ada apa ini ? tidak, tidak mungkin. Ku hempaskan kursi roda itu dan berlari kedalam rumah . Aayyyyaaaahhh … aku berteriak sekuat tenaga, tidak percaya apa yang sedang aku lihat. Tubuh gagah ayah sekarang terbaring lemah dengan terbungkus kain putih dan wajahnya sedikit tersenyum. “ayah .. ayah bangun yah .. ayah gak bolrh ninggalin nina … nina bawa kursi roda buat ayah .. nina menang olimpiade itu yah .. ayah pasti senang” ucapku memeluk tubuh ayah sambil butiran-butiran bening meluncur deras dipipiku. Ibu tak tega melihatku seperti itu ibu mencoba menenangkanku dan menceritakan semua yang terjadi. Ternyata ayah terjatuh dari kursi roda nya. Kursi roda ayah patah karena tak mampu lagi menopang beban tubuh ayah. Aku sungguh menyesal. Andai saja aku sedikit lebih cepat membawa kursi roda itu, pasti kali ini aku melihat ayah sedang tersenyum, bukan malah pemandangan seperti ini yang aku lihat. Ibu menjelaskan padaku bahwa ini bukan salah ku atau siapapun, melainkan ini sudah takdir Tuhan. Aku mengantar ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku yakin ayah pasti bangga padaku. Ayah pasti lebih tenang disana, karena ayah tak perlu lagi merasakan sakit. Aku bersama ibu pun kembali kerumah dan beristirahat.
***
‘Teringat masa kecilku …
Kau peluk dan kau manja …
Indahnya saat itu … buatku melambung …
Di sisimu terngiang … hangat nafas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu …
Kau ingin ku menjadi … yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu … jauhkan godaan yang mungkin ku lakukan
Dalam waktuku beranjak dewasa ..
jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak …
Tuhan tolonglah …
Sampaikan sejuta sayangku untuknya …
Ku terus berjanji … tak kan ku hianati pintanya …
AYAH dengarlah … betapa sesungguhnya ku mencintaimu …
Kan ku buktikan .. ku mampu penuhi mau mu …
Andaikan detik ini kan bergulir kembali ..
Ku rindukan suasana … basuh jiwaku
Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu …
Ku wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati … ‘
Lagu dari ada band saat itu mengalun indah dari radio usangku. Tak terasa anak sungai telah terbentuk jelas di kedua pipi tirus ku. ‘aku rindu Ayah’ bisik ku dalam hati. Aku masih sangat merasa kehilangan ayah. Aku mencoba melakukan beberapa aktivitas agar aku tidak terlarut dalam kesedihanku. Aku mengambil remote dan memencet tombol on. Aku menyalakan televisi peninggalan ayah. Tak sengaja aku melihat sebuah berita. kursi-kursi itu masih sangat terlihat bagus bahkan masih sangat layak untuk dipakai. Tapi mereka para pejabat tinggi negeri menggantinya dengan kursi yang lebih mahal yang berharga milyaran rupiah. Aku hanya bisa mengelus dada, mereka tak pernah memikirkan nasib rakyat kecil sepertiku. Padahal mereka dulu dipilih berdasarkan rakyat, janji telah mereka umbar, tapi tak sedikitpun yang ditepati. Mereka tak lagi mengindahkan rakyat kecil, yang telah membesarkan namanya seperti sekarang. Aku mematikan televisi itu karena aku geram melihat mereka yang menghambur-hamburkan uang Negara untuk hal yang tidak begitu penting. Aku pergi ke kamar, merenungkan semua, dan berjanji suatu saat jika aku sukses nanti, akan ku angkat rakyat kecil dan memberikan semua haknya.
Selesai.
PROFIL PENULIS
Nama : Silvia S.
Kelas : X
Sekolah : SMA N 2 Tanggul
Hobi : menulis,membaca
FB : cielvia86@yahoo.com/cielvia celalu sasuke
Judul : Kursi Ayah - Cerpen Ayah
Deskripsi : KURSI AYAH Karya Silvia S. “ayah, Nina berangkat dulu …” ucapku sambil mencium tangan ayah yang selalu memberikan kehangatan. Ayah ta...
keyword :
Kursi Ayah - Cerpen Ayah,
Cerpen Ayah