KERINDUAN MEMBAWA MAUT
Karya Rita Apriani
Matahari dengan garang memancarkan sinarnya yang tak terkalahkan memaksa keringatku keluar tanpa harus kuperintah. Mukenah musholla Al-Badr yang tak terlalu tebal segera kutanggalkan usai melaksanakan sholat Duha’. Kuarahkan pandanganku ke luar musholla. Terlihat guru bahasa Inggrisku berjalan melintasi depan musholla.
“Assalamu’alaikum…” segera kusapa guruku yang terkenal humoris itu sebelum beliau berlalu. Lekat terekam dalam otak kecilku tulisan yang terpampang di beberapa dinding madrasah. ‘BUDAYAKAN 3S! Salam, Senyum, Sapa!’
“Wa’alaikumussalam… eh, Bi? What are doing there alone?”1
“Meet my Allah sir”2
“Your Allah?”3
“Hehe, just kidding… our Allah exactly, our best!”4
“Haha… okay-okay! Well… I must teach now”5
“Okay, see you!”6, obrolan singkat namun cukup membuatku melupakan ketidaknyamanan yang sebelumnya kurasakan karena keringatku yang mulai membasahi kerudungku. Kulangkahkan kakiku menuju kelas. Dari jauh sudah terlihat jelas tulisan di atasnya menunjukkan identitasnya, XII SCIENCE-1. Kusunggingkan senyum melihatnya. Tulisan tanganku sendiri yang ditulis dengan terburu-buru beberapa menit sebelum penilaian lomba kebersihan kelas satu bulan lalu. “Kelasku sang juara!” kalimat kagumku terlisankan kembali. Kelasku yang meraih juara pertama dalam lomba kebersihan kelas membuatku dan teman-teman sekelasku bangga. Namun karena gelar juara itulah kami harus lebih serius lagi menjaga kebersihan dan kerapiannya.
 |
Kerinduan Membawa Maut |
Pintu kelasku tertutup. “Mungkin guru sudah ada di dalam”, batinku. Kupercepat langkah kakiku. Sesampai di depan pintu, kutekan gagang pintu dengan segera sambil kuucapkan salam. Ah, Alhamdulillah dugaanku tidak tepat. Tidak ada guru di dalam sana. Beberapa bangku juga belum ditempati pemiliknya. “Syukurlah…”
*
All lessons was ended for today. See you next time and have a nice day!!7
Bel yang ditunggu-tunggu beberapa siswa yang sudah bosan di madrasah berbunyi sudah. Jeda beberapa detik saja sudah terlihat para siswa berhamburan keluar kelas. Suara mesin motor di parkiran bawah kelasku membuatku sedikit tergangu. Aku masih membetahkan diri di atas bangkuku memindahkan catatan yang memadat di papan tulis bak segerombolan semut yang berbaris rapi.
“Liqo’ kan ukh?” kupastikan teman satu halaqohku untuk menghadiri liqo’ kali ini yang terlihat tengah mengemas-ngemas isi tasnya.
“Tidak bisa ukh, ‘afwan!”
Kuhelas napas panjang mendengar jawabannya. Jawaban yang tak kuharapkan. Ada sedikit kecewa menyeruak di batinku sebagai ketua halaqoh. Tiap kali liqo’, anggota yang hadir selalu berkurang. Aku mulai malu menyampaikan alasan yang menurutku tidak pas untuk dijadikan alasan ketidakhadiran mereka jika ditanya murobbiyah. “Ah mbak… alasan apalagi yang harus Biona berikan kali ini?”, kutarik napas panjang untuk kedua kalinya sambil kulangkahkan kaki yang mulai terasa berat. Keramik-keramik coklat yang kuinjak satu persatu tanpa permisi menghantarkanku sampai ke depan musholla. Aku terus memutar otak untuk bisa menemukan cara agar liqo’ kami ramai kembali. Sia-sia! Tak ada ide termunculkan.
Panas semakin menjadi. Menusuk-nusuk kulitku yang dibasahi keringat. Musim kemarau masih jauh. Namun panas matahari terasa melebihi saat musim kemarau. Perasaanku menjadi gusar dibuatnya. “Alam sudah mulai enggan bersahabat dengan penduduk bumi”, gumamku. Tak ingin menunggu lama, usai liqo’ kupakaikan kepalaku helm dan kutunggangi Beat biru yang dibelikan kakakku. Segera kukendarai motor itu menuju rumah. Hanya dalam waktu belasan menit saja gubuk bercat hijau muda sudah dapat terlihat, rumahku. Rumah tempat merajut cita-cita dan cinta.
Kulebarkan senyum melihat adik balitaku yang berlari ke arahku saat kuucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam… Kak Biona lelah?”.
Ah, adikku sayang. Pertanyaan itu selalu kau ucapkan tiap kali kakakmu ini pulang. “Tidak sayang, kakak kan hanya sekolah, belajar. Masa lelah?” lisanku mulai pandai membohonginya. Tak apalah! Agar dia besarnya nanti tidak malas belajar, pikirku.
“Ahwa besok boleh ikut kakak sekolah?”
“Besok tanggal merah sayang, kakak tidak sekolah. Juga… Ahwa kan masih empat tahun, tidak boleh ke sekolahnya kakak. Kalau sudah besar seperti kak Biona, baru Ahwa boleh ikut. Ngerti sayang? Makanya… jangan malas kalau disuruh makan, biar cepat besar seperti kakak, ya?”. Kutinggalkan adikku dengan mainannya. Kurebahkan badanku yang terasa penat di atas ranjang dengan sprei hijau bermotif bunga-bunga. Haus tak terelakkan kurasakan. “Ah, Biona puasa! Tidak boleh memikirkan makanan ataupun minuman.” Mataku mulai meneliti coretan-coretan di dinding kamarku. Hobi menulisku membuatku sering diomeli umi karena dinding kamar sering kujadikan buku kedua. Tanpa sadar aku tergiring menuju alam bawah sadarku. Indera pendengaran karunia Illahi tak kufungsikan lagi.
*
Drrttt… drrttt… drrtt…
Getaran cukup panjang dari ponsel tak jauh dari kepalaku memaksaku kembali ke alam sadarku. Telepon dari Ana, teman sebangkuku yang tak keburu kuangkat. Kenapa Na? ‘afwan tadi Biona ketiduran. Kuletakkan kembali ponselku setelah laporan terkirimnya SMSku kubaca. Kebiasaan buruk membiarkan ponsel di dekat kepala membuatku sering menyalahkan diri. “Kalau radiasinya sudah menyebabkan sakit berat, baru dah nyesel. Astagfirullah…”
“Bio… bangun… sholat Ashar….”
“Iiyaa…”, kujawab teriakan umi yang sepertinya sedang di dapur. Beliau rupanya masih mengira aku tertidur. “Terimakasih Mi, selalu memperhatikan sholatku”, syukurku.
Sudah setengah lima. Tak ingin kutunda waktu lagi. Sholatku tak boleh kulalaikan. Bergegas kuterobos jalan menuju kamar mandi sambil kutenteng handuk. Gemercik air yang didahului suara mesin dynamo air membuat ribut kamar mandi. Terdengar sampai dapur.
“Habis mandi dan sholat langsung makan Bi…”
Aku sampai lupa memberi tahu umi aku sedang berpuasa. “Tak apalah, nanti saja!”, bisikku dalam hati. Berbicara di dalam kamar mandi setahuku dihukumkan makruh dalam dienku. Kutahan suaraku sampai keluar dari kamar mandi. Tak ingin kubiarkan diriku berkubang dalam perkara makruh.
“Bio bisa bantu apa Umi?” kumulai pembicaraan sesampainya aku di dapur tempat umi terlihat sibuk. Sudah berjejer beberapa makanan yang memikat selera tersaji di meja makan. Kutelan ludahku menahan lapar.
“Makan gih! Umi tidak melihatmu makan sejak pulang sekolah.”
“Puasa Umi”
“Puasa? Bukannya puasa sunnah hari jumat dilarang ya?”
“Iya, kecuali jika kita berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya. Kemarin Bio puasa, jadi hari ini boleh puasa lagi.”
“Anak umi yang sholihah,” senyum hangat dihadiahkan umi untukku. Refleks kubalas dengan senyuman yang serupa.
“Kakak kapan pulang Mi?”
“Terakhir nelpon bilangnya sabtu depan. Kakakmu kan baru kerja di Gili Trawangan sana, jadi jadwal kerjanya belum pasti. Katanya dia menjadi staff IT sendiri saja di hotel sebesar itu. Tidak seperti di tempat kerjanya yang kemarin.”
“Hm…”, kuanggukkan kepala tanda mengerti. Namun tak bisa kupungkiri rinduku sudah menjadi-jadi. Tiga pekan kakak tidak pulang. Tidak seperti saat masih kerja di tempat lama, tiap hari sabtu selalu pulang. Rencanaku menghabiskan libur sabtuku bersama kakak sirna sudah. “Biona rindu kakak…”, jeritku yang hanya terdengar olehku seorang.
*
“Bindari Okta Nanda Puteri?”
“Yes? Me sir!”8 sontak kujawab panggilan guru bahasa Inggrisku. Namaku yang berada di urutan teratas di absensi kelas selalu mempersilakanku mendapat giliran pertama untuk dipanggil. Tak apalah!
“Come forward, and tell your friends your short story you’ve made”9
“Yes sir!”10. Mendapat giliran pertama tak masalah bagiku. Terkadang juga sangat aku syukuri. Present my own short story11, memuaskan! Ada lega menyusup di hatiku. Alhamdulillah… ini tentu tak terlepas dari campur tangan illahi.
Belajarku hari ini menyenangkan. Materi pelajaran dapat kucerna dengan baik. Meski sempat tersenggal ketidakfahaman. Ah, Fisika! Pelajaran yang menyenangkan namun sering membuat otakku loading lama. Sering kusayangkan memang. Pelajaran pokok yang harus kukuasai untuk bisa mewujudkan ambisiku menjadi seorang astronot justru low kukuasai. Apa menjadi astronot tidak untukku? “Ah! Tidak!”, kutepis pikiran-pikiran tak berbobot dan kulirik jam tangan di pergelangan tangan kiriku. Hampir jam tiga!
Drrttt… drrtttt… drttt…
Getaran ponselku memerintahku untuk memasukkan kunci motorku kembali ke saku. Nama ‘Kk Gio’ terpampang di LCDnya yang sedikit retak. Bahagiaku mengembang. “Pasti ingin mengabari kepulangannya besok lusa”, pikirku.
“Assalamu’alakum… Kk…” tak kudengar suara kakakku di seberang sana. Hanya suara kerumunan orang-orang yang kudengar.
“Kak…”
“Wa’alaikumussalam… benar ini adiknya yang punya handphone?”
Bukan suara kakakku. Bahagiaku tergeserkan khawatir yang sangat. “Iya, Kk Gio mana?”
“Dik, boat yang ditumpangi kakakmu tadi tenggelam. Sekarang kakakmu sudah kami bawa ke pinggir pantai. Handphonenya kami temukan di sakunya yang basah. Untung masih bisa dipakai.”
“Kakak…” aku menjerit sekeras mungkin. Teman-teman yang memandangku keheranan tak kuhiraukan. Kuraih kunci motor di saku rok cokelatku. Tak kubiarkan waktu mendahuluiku. “Kak, tunggu Bio…”, kulajukan motor matic dengan kecepatan yang tak kuhiraukan lagi. Yang ada di otakku hanya satu. Menemui kakakku yang sekarang sedang tak berdaya di sana. Dua puluh kilometer kurasakan sangat lama untuk ditempuh. Perasaanku tak karuan. Kurasakan getaran ponsel berulang-ulang yang akhirnya kujawab sambil tetap melaju. “Kakakmu tak terselamatkan!” Suara orang di seberang sana membunuh kesadaranku. Tubuhku kehilangan berat. Gaya gravitasi bumi berkurang bak di bulan sana. Motor kukendarai dengan tak sempurna. Hilang kendali. Terlihat truk di depanku melaju dengan kecepatan ekstra. Bruk! Seketika semuanya gelap. Hanya suara orang-orang sekitar yang mampu kudengar “Ada yang tabrakan…! Ada yang tabrakan…!”. “Robby… pertemukan aku dengan kakak…”, rintihku sampai aku tak mampu merasakan apa-apa lagi.
*
“Alhamdulillah, sayang… akhirnya kamu siuman.”
Siuman? Aku pingsan? Koma? Berapa lama? 19 hari? Selama itu? Robby… sholatku… kakakku… “Ka-kak, man-na? Um-mi?”, kalimat susah terucap. Tapi aku rindu kakak. Tak ada kakak terlihat disekelilingku. Hanya umi dan adik.
“Kakakmu sedang istirahat nak. Tidak apa-apa. Kamu cepat sembuh ya sayang.”
“Is-ti-ra-hat?”, kufahami arti tersembunyi kalimat umi. Kakakku? Istirahat? Di alam berbeda yang jauh dari kami. Kakak meninggalkan kami. Mutiara-mutiara cair membelah tangisku. Kehadirannya yang kurindukan, kepergiannya yang kutangiskan. Kakak…
Sabtu, 30 Maret… detik jam mengantarku menuju tepat pukul tujuh malam. Beberapa menit lagi waktu berulang seperti waktu kelahiranku. Kubuka kelopak mataku. Terlihat adikku disamping ranjang rumah sakit tempat tubuhku tergolek lemah tengah menungguku. Doa khusyuk umi terhenti melihat terbukanya mataku. Tubuhku lelah… terbayang kakak dengan baju putih bersih tersenyum di hadapanku. Melambai-lambaikan tangan mengajakku pergi. Entah kemana. Kugenggam tangan adikku yang lembut.
“Kakak lelah dik, kakak ingin istirahat.”
“Kak…”
“Kakak rindu abi… kakak rindu kak Gio… kakak ingin bertemu abi dan kak Gio. Jaga umi sayang… kakak percayakan umi padamu!” kalimatku lancar terucap. Kutatap wajah umi dengan mukenah yang masih dipakainya berlinang air mata, Biona ingin selalu di pelukan umi… jangan nangis umi… hatiku kelu. Nafasku mulai tersenggal-senggal, “ma-af-kan Bi-o um-mii… Asyhadu an-laailaahaillallah… wa asyhadu anna muhammadarrosuulallah…”.12 Mataku terpejam sudah. Kurasakan jiwaku melayang. Jasad terasa remuk. Sakit teramat sangat yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Tangisan umi dan adikku tak mampu kuindera lagi. Panca indera yang kumiliki tak berfungsi total. Kita sama-sama kembali ke pangkuan-Nya kak. Kita juga akan bertemu abi. Robby… kuwujudkan kerinduanku!
***
Praya, Maret 2013
Rita Apriani
MAN 1 Praya
Glosarium:
Ukh : Saudariku (ukhty)
Halaqoh : Kelompok
‘Afwan : Maaf
Murobbiyah : Ustazah pemberi materi saat liqo’
Dien : Agama
Low : Lemah
Gih : Ya
Liqo’ : Pertemuan (semacam pengajian, agenda mingguan dalam ekskul REMUSH)
1 Sedang apa di situ sendiri?
2 Menemui Allahku pak!
3 Allahmu?
4 Bercanda… Allah kita tepatnya! Yang terbaik!
5 Ya ya, mm… saya harus ngajar sekarang
6 Ok, ketemu lagi
7 Suara bel tanda waktu kegiatan belajar-mengajar berakhir
8 Ya? Saya pak!
9 Maju ke depan dan ceritakan ke teman-temanmu cerpen yang kamu buat
10 Ya pak
11 Mempresentasikan cerpenku sendiri
12 Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain ALLAH dan Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan ALLAH (Lapaz syahadatain)
PROFIL PENULIS
Nama : Rita Apriani
Alamat : Praya Lombok Tengah, NTB
Pekerjaan : Pelajar MAN 1 Praya (calon mahasiswi UNRAM :))
Email : volvariellahalil@gmail.com
Fb : Rita Ryani
Judul : Kerinduan Membawa Maut - Cerpen Islami
Deskripsi : KERINDUAN MEMBAWA MAUT Karya Rita Apriani Matahari dengan garang memancarkan sinarnya yang tak terkalahkan memaksa keringatku keluar tan...
keyword :
Kerinduan Membawa Maut - Cerpen Islami,
Cerpen Islam