DERAM KELAM MALAM
Karya Nino Torino
Ia tidak menjawab ketika kusapa. Tak bergeming sedikit pun. Hanya diamnya yang hadir menggumamkan kata-katanya. Dan kebekuan jiwaku pun makin membeku, terpenjarakan sunyi.
“Boleh kupeluk dirimu?”, pintaku.
Tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Hanya tatapan matanya yang mengisyaratkan kepedihan hatinya. Menantikan dekapan seorang kasih. Kudekap erat tubuhnya, berusaha melebur bersamanya dalam sakit yang dipendamnya.
Aku tidak tahu kapan ia bahagia, kapan ia sedih, namun aku tahu, saat ini ia sedang menangis. Meratapi jiwanya yang terluka. Namun hanya diam.
“Menangislah! Jika tangis mampu mengurangi sakitmu.... Karena akan lebih sakit jika kau memendamnya dalam hati.....”, ujarku seadanya.
“Kau tidak bisa memaksaku untuk menangis”, ujarnya sembari melepaskan dekapanku.
“Maaf, aku tidak bermaksud memaksamu menangis, namun....”, tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Kata-kataku seolah tersekat dalam tenggorokanku.
“Sudah sepuluh tahun aku hidup dalam pengharapan, kapan Ayahku kembali. Waktu itu aku baru berusia delapan tahun. Ayah pergi, dan tak pernah kembali. Menurut ibu, ayah menderita amnesia. Bisa jadi tidak tahu jalan pulang ke rumah atau mungkin juga ayah sudah meninggal. Aku selalu rindu mengucapkan kata ‘Ayah’, namun rindu hanyalah luka yang tak pernah terobati. Ayah tak kunjung kembali. Hanya ibu yang menjadi satu-satunya harta terindah dalam hidupku. Ia adalah Ayah, Ibu dan saudaraku. Dan malam itu, delapan tahun semenjak Ayah meninggalkan kami, Ibu meninggal. Aku tidak tahu penyebab kepergiannya.
 |
Deram Kelam Malam |
Aku hanya tahu, Ibu selalu bahagia. Semua terjadi begitu cepat..... Aku hanya bisa menangis saat itu. Dan mulai saat itu, aku berjanji untuk tidak menangis lagi. Aku sudah cukup puas menangis”, ungkapnya perlahan. Masih tenang.
“Kau sangat tegar”, ujarku menanggapi.
Masih diam. Tenang. Ombak pun hanya berdesir lembut, seperti genta-genta mungil pengubur mentari. Dentingnya merambat perlahan dalam sepi.
Tak ada yang istimewa di petang kali ini, hanya sunyi yang sesaat menjadi asing. Sulit untuk menemukan kata-kata untuk merendanya pada sunyi ini. Terasa mata pun lupa untuk membahasakan hasrat hati. Mungkin ia masih berbohong. Ada angin, namun semilir sepoinya pun enggan mengusik dedaunan. Hanya lembut belainya terasa di kulitku, dan seperti berbisik lirih bahwa hanya laut yang tak pernah takluk dan langit yang tak pernah berdusta. Hari hampir gelap. Dan masih diam.
”Boleh aku merapat ke tubuhmu sekali lagi?”
Permintaannya tiba-tiba. Dan mustahil kutolak. Kami berjalan saling merengkuh. Mengusir dingin. Senja September mulai memerah di laut Teluk Kota Karang. Sedikit pucat merahnya oleh awan pekat yang kian memekat di angkasa petang. Gerimis turun sejak siang dan tak juga membesar. Sesekali berhenti, memberi kesempatan pada angin untuk turut bercumbu.
”Aku ingin bunuh diri,” ia memecah kesunyian dengan cara yang sama sekali tak kuduga.
”Hah!? Maksudmu?”
“Aku ingin bunuh diri. Atau kau tidak mendengar?”
“ Aku mendengar. Tapi…., apakah aku tidak salah dengar?”
”Ya. Aku sedang berpikir untuk bunuh diri….”
”Gila! Sungguh tak masuk akal...!”
”Maksudmu?”
”Kau bilang, kau sangat menghargai hidupmu. Hidupmu adalah satu-satunya harta terindah di dunia yang masih kau miliki. Kau juga begitu muda. Cantik dan cerdas. Dunia membentang luas di depanmu. Masa depan sudah memanggilmu, tinggal kau jemput. Kau dikepung derap musim semi daya hidup yang terus meletup. Masih banyak jalan yang harus kau tapaki. Bagaimana mungkin kau justru ingin melangkah ke arah sebaliknya?”
“Ya… aku ingin bunuh diri. Rasanya aku sanggup menghadapi hidup yang berat dan keras. Tapi tidak hidup yang terasa hambar seperti ini…. Setiap masalah yang muncul selalu melahirkan masalah-masalah baru yang aku sendiri tidak mengerti dan tidak tahu ke mana aku harus berlari. Hingga akhirnya semua terasa biasa-biasa saja....”
Air matanya mulai terasa membasahi bahuku. Hangat menyentuh bahuku yang sedari tadi terbalut dingin. Ketenangan hadir diterkam senyap yang tiba-tiba menjadi aneh dan makin asing.
“Setiap masalah yang hadir bukan untuk membunuhmu. Semuanya itu seolah mau mengingatkanmu bahwa kau mampu mengatasi semuanya.”
Sesenggukannya mengeras. Sebuah cara pilu mengungkapkan kisah yang tak dapat dikisahkannya padaku. Dalam pelukanku yang merapat, semua bagian badannya terasa bergetar. Lembut sekali. Melahirkan rasa yang asing dan nyaris tak kukenali. Lebih dari sekedar dekapan sahabat, seperti sebelumnya ketika aku mendekapnya.
Maut adalah masalah siapa pun dan merupakan konsekuensi atas penerimaan kehidupan yang dijalani di dunia ini. Maut dalam pikiranku hanyalah pemagut manusia. Sangat kejam dan menakutkan. Tapi ia malah menganggapnya sebagai pembebas kehidupannya, yang kedatangannya seolah diundang. Aneh memang. Meski kesadaran akan kefanaan sering timbul, tetapi bagiku maut yang merupakan bagian dari kehidupan yang pada akhirnya akan datang juga sebagai sebuah peristiwa kehidupan yang tidak dapat dielakkan.
Aku masih mendekapnya. Sementara matahari mulai terbenam dan dunia hanya terbakar silaunya. Suasana semakin sepi seiring petang yang semakin menua.
Dan malam pun makin larut dalam sunyi. Lalu semua terjadi begitu saja. Ia tak lagi kupeluk, tapi kami saling memeluk. Saling merangkul. Bercumbu ria dalam mimpi-mimpi kami. Dan aku berharap semua yang baru saja kurasakan tak hanya mimpi yang semu.
*****
Ia mematung menopang dua matanya yang nanar. Lagi-lagi bertelaga. Baru saja kami menunaikan pelukan selamat tinggal. Aku nyaris kaku ketika ia bisikkan kata-kata itu….
”Terima kasih, Rey. Untuk pertama kali dalam waktu yang sangat panjang, aku sanggup berbagi dan menangis. Kupikir air mataku sudah habis dan dibawa pergi oleh Ibu. Ternyata aku juga manusia yang rapuh, tak mampu menjawabi hidup tanpa cinta. Aku akan tetap menunggu. Jangan-jangan aku sudah jatuh cinta padamu.”
Suaranya parau. Aku hanya bisa mengeratkan pelukan dan mengusap-usap lembut punggungnya. Di balik baliho raksasa di persimpangan itu, kami bebas bercumbu. Tak ada yang tahu tentang hubungan ini, baliho itu cukup berjasa menyembunyikan rahasia ini. Dan mungkin akan ada baliho yang lebih besar lagi yang mampu menyembunyikan kebohongan dan kemunafikan yang lebih besar lagi. Mungkin akan sempurna jika lampu-lampu dalam kota pun padam sepanjang malam. Dalam hatiku ada sedikit harapan agar hal itu benar-benar terjadi, agar kami bisa dengan leluasa bertemu dan bercumbu ria di baliknya tanpa seorang pun mengetahuinya. “Toh gambar wajah-wajah yang terpampang di baliho itu pun hasil edit, yang membuat mereka tampak cantik, ganteng dan bersih. Tetapi sifat mereka mungkin juga tak ada bedanya dengan para pengemis dan pencuri yang kerjanya hanya meminta dan merampas. Namun mereka adalah pengemis dan pencuri kontemporer karena meminta dan merampas dengan cara yang tersusun rapih dalam prosedur. Berjuta-juta uang negara dihabiskan hanya untuk membuat baliho yang memuat wajah-wajah editan. Mengapa bukan hati mereka saja yang dipamer???”
“Rey, biarkan aku menciummu”, ujarnya sembari mengecup mataku, kemudian bibir dan dadaku, menyadarkanku dari kelana anganku. Sedikit kikuk aku dibuatnya. Dingin. Kemudian lepas dari dekapanku dan pergi tanpa lambaian tangan. Sosoknya hilang tertelan kelokan menuju malam yang mulai memanggil.
Berjalan menuju rumahku melewati jalanan malam yang ramai seperti memasuki lorong panjang yang asing. Kami menjauh, tapi suaranya seperti makin keras memanggil-manggil. Sementara ujung malam beringsut mendekat.
Diam-diam, kupastikan untuk selalu ada untuknya. Ada rasa hampa ketika harus meninggalkannya sendirian. Aku akan menunggu hingga tiba waktunya bagiku untuk kembali bertemu dengannya. Perlahan-lahan, aku mulai terganggu perasaan serupa yang dirasakannya. Terperangkap dalam rindu yang asing. Jangan-jangan aku juga sudah jatuh cinta. Tapi ia sahabatku.
“Rey.......”
“Lis, kamu di sini?”, tanyaku apa adanya.
“Iya, sayang. Sudah sejak kemarin. Kamu ke mana saja? Aku punya sesuatu untukmu. Dan kamu pasti bahagia bila mengetahuinya.”
“Beritahukan padaku apa yang tidak kuketahui...”
Hal biasa jika bersamanya. Ia yang setiap hari bersamaku, menemaniku melewati hari-hariku selama setahun. Aku pernah sangat mencintainya dan rasa itu masih tetap ada hingga detik ini.
“Drrrrrttttt…….”, derit ponselku menyita perhatianku sejenak.
“Badanku hancur, tapi hatiku lebih hancur. Kemanusiaanku makin hari makin tak bersisa. Benar-benar binasa. Kita tidak bisa bertemu lagi bulan depan. Kanker ini benar-benar akan segera memisahkan kita. Maafkan aku, Rey, aku mencintaimu....”
“Aku hamil, sayang. Bayi kita....”, ujar Lis sambil tersenyum menatapku.
“Lis.....”, ujarku sembari merangkulnya. Berusaha menyembunyikan rahasia yang tak diketahuinya. Agar matanya tak menangkap kisah baru yang dikisahkan mataku.
Di luar sana langit gelap mulai menggerimis sebelum akhirnya benar-benar lebat. Dan jauh di balik hujan, seorang gadis mendekap cintanya sambil menyambut maut yang beringsut mendekat. Deram batinku pun makin dalam menggeram dalam kelam malam. Tanpa dendam, bergulir bersama malam yang mengelam lebam.
Kupang, 03 September 2012
(Harian Pagi Timor Express, Minggu, 18 November 2012)
PROFIL PENULIS
Nama lengkap : Septoriana M. Nino
facebook : Torii Nino