PENANTIANNYA
Karya Aminuddin
Ku pandangi foto kekasihku dan berharap ada roh yang bersemayam di foto itu. Ku berharap dia baik-baik saja di sana. Sudah satu tahun setengah kabar darinya tidak ku dengar. Tapi dalam hatiku selalu berdoa semoga dia baik-baik saja di sana. Ku katakana dalam hati, Dini tidak lama lagi kekasihmu akan pulang dan membawamu ke pelaminanan. Tungulah diriku duhai pujaan hatiku.
Bintang-bintangpun bersorak ketika mendengarkan hatiku berbicara. Mereka bersua di langit sembari menanti sang fajar menggantikan tugasnya mengawali bumi. Sang bulanpun tersenyum dan semakin bersemangat memancarkan sinarnya seolah-olah ingin seperti sang mentari. Memancarkan sinar lebih sehinga mengalahkan si jubah hitam di malam itu. Perlahan demi perlahan aku terhipnotis oleh bunga tidurku.
 |
Penantiannya |
Ku berusaha membuka mata dan tidak terlena oleh rayuan bunga mimpi. Mata ini biasanya sulit terbuka, seolah ada lem yang merekat di pelopak mataku. Tapi hari ini aku berusaha untuk melawan semua itu. Ku lihat fajar telah menyindir kota Kupang untuk menemani bumi timur. Namun, penduduk kota masih saja terlena dengan rayuan sang bunga mimpi. Padahal jam sudah menunjukan pukul 04.35. Azan subuh pun sudah mengema di seluruh penjuru kota Kupang. Anehnya kota Kupang masih saja membisu, walaupun sebagian hewan telah berdendang dengan suara yang merdu. Binatang-binatang itu seolah mengetahui bahwa ketika itulah waktu yang sangat baik untuk bermunajat pada Tuhan. Dingin yang menghantam tulang tidak menjadikan mereka manja pada alam raya.
Dari balik jendela kamar, ku mengintai indahnya pantai timur. Terlihat olehku ombak-ombak kecil yang sedang bercumbu dengan bibir pantai. Sinar mentari yang baru saja menyindir kota kupang ikut membaur di lautan timur, sehinga tampak kemilau yang indah. Sejenak ku memejamkan mata dan merasakan kesejukan alam di pagi ini. Teringat dibenakku bahwa hari ini aku akan membawa gelar. Gelar yang akan menentukan apakah esok harinya aku bisa memanfaatkan gelar itu atau tidak. Gelar yang menentukan apakah esok hari aku bisa menjadi orang baik atau tidak. Dengan gerakan cepat kuraih handuk biru yang setia menemaniku selama perkuliahan dan melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
Selesai membersihkan badanku di kamar mandi, aku kembali bersiap-siap untuk menuju ke kampus. Menggunakan baju batik khas NTT dan celana kain berwarna hitam membuat diriku menjadi objek yang sangat menyengat setiap mata yang melihatnya. Hampir saja aku lupa baju yang disepakati untuk wisuda di dalam lemarku. Ku buka lemariku, bajuku tidak ada. Ya tuhan di mana bajuku. Pikiranku mulai nakal,sepertinyai ada kawan kos yang menyelinap dan menyembunyikannya. Ketika ku mau melangkahkan kaki ke luar untuk menanyakan kawanku, eh ternyata baju itu bersenbunyi di bawah meja belajarku. Ku raih bajuku dan ku sisipkan di dalam ranselku yang besarnya seperti karung beras 25 kilo gram. Sebelum berangkat, aku berdoa semoga ibu dan ayahku yang telah kembali pada sang kuasa merestui perjalananku hari ini dan semoga merekapun bahagia melihat kesuksesanku dalam menempu sebagian hidup.
Tepat ketika acara Wisuda akan di mulai, aku tiba di ruangan besar yang berisi ratusan pasang bola mata. Sepertinya, waktu meridhai perjalananku. Tepat pukul 09.15 acara wisuda di mulai. Kebahagiaanpun terpancar dari wajahku dan juga orang-orang yang ada di ruangan itu.
Lulusan-lusan terbaikpun siap dibacakan oleh pembawa acara. Ku perbaiki posisi dudukku untuk mendengarkan pembacaan tersebut. Lulusan terbaik tahun ini adalahhhhhh,,,,saudara Alifudin. Suara tepuk tangan bergemuruh di ruangan itu. Tiba-tiba pembawa acara meminta maaf karena salah membaca nama. Di ulangi lagi pembacaan lulusan terbaik. Lulusan terbaik tahun ini adalah,,,,,,,,,,,,,, saudara Riski Alimudin, S.pd. Aplous bergema dari seluruh penjuru ruangan. Kali ini suara tepuk tangan lebih bergemuruh dari sebelumnya. Aku yakin suara tepuk tangan kali ini mengalahkan suara bom di kota Hirosima.
Pembawa acara memangilku “Kepada saudara Riski Alimudin kami persilahkan ke depan.” Betapa terkejutnya aku ketika yang menjadi lulusan terbaik itu adalah aku. Saat itu aku serasa di timpa emas dari langit. Mendapat kebahagian yang tak ku sangka.
Dengan mata yang bersinar dan langkah agak malu-malu ku menuju pangung megah yang ada di depanku. Pak Dekan pun memasang Toga di kepalaku dan memberikan salam hangat seakan ikut bahagia dengan apa yang ku raih. Toga terpasang dengan rapi di atas kepalaku. Aku seperti di angkat menjadi seorang raja. Senyum manis ku siram di antara para wisuda lainnya. Dari sudut kiri, ku biarkan bola mataku menjelajahi ruangan itu sampai ke sudut lainnya. Setelah selesai, ku kembali ke tempat dudukku.
Suasana menjadi haru seketika. Aku menangis ketika teringat bahwa di antara semua orang yang di wisuda hari ini, hanya aku yang tidak bersama kedua orang tuaku. Tanpa belaian orang tua, tanpa kasih sayang mereka, tak ada pelukan dari ayah bunda dan tak ada ciuman hangat yang ku rasakan dulu. Aku menangis sepuasku agar beban yang menyesakakn ini sedikit ringan. Ku tanamkan kata dalam hatiku “Engkau harus tetap kuat Riski Alimudin. Engkau masih memiliki seorang kekasih di ujung sana.”
***
Haripun telah berlalu, kebahagian yang ku rasakan kemarin telah ditelan oleh sang fajar. Hari ini aku akan pulang kembali ke kota kelahiranku. Kota kecil yang indah yaitu kota Waikabubak, kota dimana pertama kali aku membuka mata dan memulai cerita dalam hidupku. Dalam hatiku bertanya apakah disana aku masih bisa mendapat belaian manja yang masuk di telingaku. Huffff, pikiran ini membuatku sedikit tersesak.
Ketika jarum jam bertenger pada pukul 14.00 aku tiba di Bandara Udara Tambolaka. Ternyata secara diam-diam kekasihku Dini menjemputku di bandara itu. Seolah-olah dia mengetahui bahwa aku akan datang. Aku kira satu tahun setengah tidak mendapat kabar dari ku membuatnya berpaling. Betapa senangnya aku ketika secara tiba-tiba ia hadir di hadapanku. Cepat-cepat ku hampirinya dan ku raih tangannya. Ku ajak dia keluar dan menuju ke taxi yang telah ku pesan sebelumnya. Dengan lirikan sedikit genit ku lihat wajahnya. Hatiku mulai bergumam, ternyata wajah kekasihku ini semakin cantik dan semakin bercahaya. Ketika dalam taxi, sopir taxi seperti aneh melihat sikapku. Tapi ku hiraukan semua itu, ku tetap asik bercerita dengan kekasihku.
Setibanya di rumah, begitu sepi rumah yang pernah ku tinggali itu. Sudah kumuh dan berdebu. Atapnya pun sudah mulai berlubang. Cahaya bulan menyusup dari cela-cela atap dan menertawakan rumah tua itu. Ku dapati kunci rumah yang agak berkarat masih bercumbu mesrah dengan pintu rumah. Pikiranku mulai bergelut, hari ini aku harus tidur di mana. Apakah aku harus tidur di emperan jalan. Seorang sarjana terbaik di kampusnya harus tidur di emperan jalan, apa kata dunia.
Tiba-tiba Dini kembali muncul di belakangku dan mengatakan. “Sayang ayo tinggal di rumah yang telahku sediakan.”
“Eh sayang, belum pulang ka,?” sambil melihat arloji kecilku.
“Belum, ayo ku bawa engkau ke rumah barumu.” Sambil menarik tanggan kananku.
Beberapa menit berjalan menelusuri gang-gang kecil, akhirnya kami sampai di sebuah rumah. Tetapi menurutku itu bukanlah rumah. Itu adalah Istana megah yang di inginkan setiap manusia.
“Di sinilah kamu akan tinggal” sambil membuka pintu rumah.
“Di sinii, yang benar saja sayang?” sembari kedua bola mataku menelusuris setiap lekukan dari rumah berarsitek italia itu. Ingin rasanya kedua tangan ku bisa membuat rumah dengan arsitek yang indah seperti ini. Dalam hatiku berkata, jika saja ada pekerjanya disini, aku ingin di ajar cara membuat rumah berarsitek Italia ini. Betapa terpesonanya aku dengan rumah ini, samapai aku hampir lupa dengan kekasihku. Ku balikan badan ternyata Dini telah pergi.
Belum sempat ku mengucapkan terima kasih, eh dia sudah pergi tanpa pamit kepadaku. Huh,, itu sempat membuatku jengkel. Ah biarlah, hari ini aku benar-benar capek. Akupun masuk kedalam kamar yang berarsitek Italia. Begitu megah di dalamnya. Lengkungan-lengkungan atap langit membuatku semakin terpesona. Rasanya aku tidak mau keluar dari kehidupan Italia itu. Aku yakin setiap orang yang masuk ke kamar itu pasti memiliki keinginan yang sama denganku. Tapi dalam hatiku bertanya, sebenarnya kekasihku membeli rumah sebesar ini dari mana. Apakah dia sedang tertimpa emas. Ataukah dia sedang menjadi jutawan saat ini. Ah ku lawan pikiran-pikiran itu dan ku lanjutkan istrahatku. Tiba-tiba telepon yang ada di kamar itu berbunyi.
Kringgggg,,,,,kringgggg,,,,,kringgggg,,,,,,,,,,
Ku angkat telepon. “Assalamua’laikum,,,,,,,,,” Tanpa menjawab salamku, orang yang berada di seberang sana langsung berbicara
“Sayang, semoga engkau bahagia di rumah itu. Jaga baik-baik dirimu. Esok kita akan berjumpa lagi.” Suara yang begitu merdu, suara yang begitu menghipnotisku, suara yang lebih mahal dari emas batangan.
Ingin ku jawab semua itu. Tetapi secara sepihak telepon tersebut mati. “Titititititi,,,,,,,”
Ku kembali ke tempat tidur yang begitu empuk. Ku rebahkan badanku yang benar-benar capek. Tiba-tiba 1 pesan masuk di hanphoneku.
Assalamu’alaikum,,,sayang,,,, Jika aku bisa jadi bagian dari dirimu, aku mau jadi airmatamu, yang tersimpan di hatimu, lahir dari matamu, hidup di pipimu, dan mati di bibirmu. Ouh ya besok pagi kita bertemu di simpang empat sebelah barat. Jaga dirimu baik-baik di malam ini. Ku kan selalu menyayangimu dan mencintaimu. By. Dini
Sair-sair bernyawa yang ia kirimkan membuatku semakin ciinta kepadanya. Ingin ku balas sms itu tapi sayang pulsaku tidak mencukupi. Beberapa menit kemudian pelan pelan kelopak mataku tertutup rapat. Seolah-olah ada berjuta-juta batu besar yang tergantung di kelopak mataku.
Pagi hari kabut turun menyapa kota Waikabubak, hinggap di dedaunan dan membuat tetesan demi tetesan air menyirami kota ini. Matahari pun telah bertatap muka dengan pulau bagian timur ini. Sinar matahari dengan malu-malu menyelinap di selah-selah kain gorden di kamarku. Cepat-cepat ku bangun dari bunga tidurku. Tak butuh waktu lama, aku langsung menuju kamar mandi. Setelah selesai bersiap, aku menuju tempat perjanjianku semalam. Sesampainya di simpang empat, mataku tidak melihat seorangpun. Tiba-tiba dari belakang, seseorang memukiliku dengan lembut.
“Cari diriku ya sayang” sambil memegang pipiku.
“Hummm ,,, Sayang,,, hampir aja jantunku copot. Sayang dari mana sih? Dari tadi di tunggu tidak datang-datang juga.” Sambil meraih tanggannya dan ku kecup mesrah.
Ia menjawab dengan suara merdunya “ Sudah, sayang tidak usah bertanya dari mana aku. Ayo sekarang kita jalan.”
Tangganku di raihnya dan di ajak menuju taman yang begitu Indah. Taman yang berisi berjuta bunga indah dan kupu-kupu yang beraneka ragam. Taman yang membuat hatiku semakin tenang. Teringat olehku kedua orang tuaku. Dalam hatiku bergumam, semoga mereka merestui agar aku bersama kekasihku ini bisa menjadi pasangan yang serasi. Pasangan yang saling mengerti. Kembali ku tatap wajahnya yang begitu anggun dan tenang. Pesonanya semakin terlihat, membuat hatiku semakin tidak bisa berpaling darinya.
Aku mencoba membuka percakapan.
“Sayang, habis ini kita ke rumahmu ya. Aku sudah lama tidak berjumpa dengan keluargamu.” Sambil memetik bunga dan memberikan kepadanya.
“Bukanya aku iwa mau, lain kali aja ya sayang baru kita ke rumahku.” Dengan wajah yang sedikit pucat dan gugup.
“Yasudah kalau memang begitu, aku tidak bisa memaksa.”
*****
Malampun kembali menemani bumi. Bintang-bintang bersorak dengan gembira di langit hitam. Akupun bersiap-siap untuk makan malam, kebetulan saat itu nasi goreng lewat di depan rumah yang ku singgahi baru-baru ini. Selesai makan, pikiranku kembali berkelana. Pikiranku mengatakan besok aku harus melamar pujaan hatiku itu. Aku takut bila aku jatuh cinta pada wanita lain. Jadi lebih baik secepatnya aku lamar dia dengan cincin dan kalung emas yang ku miliki. Semoga kedua orang tuanya menerimaku. Tak lama pikiranku buyar. Ku rebahkan badan sampai tertidur di atas tempat tidur yang begitu empuk. Tempat tidur yang terbuat dari bambu-bambu yang berwarna kuning.
Keesokan harinya, aku menujuh rumah Pak Dandi untuk melamar anaknya Dini. Ternyata Pak Dandi sudah semakin tua. Rambutnya yang dulu hitam sudah mulai bergaul dengan warna putih. Dengan ramah ia menyambutku. Ku salim tanggan Pak Dandi dengan sedikit gugup. Pak Dandi tersenyum kepadaku seolah-olah tau maksud kedatanganku yang ingin melamar anaknya itu.
Ku coba membuka pembicaraan “ Ibu di mana Pak, ko dari tadi tidak kelihatan?”
Dengan sedikit mata memerah Pak Dandi menjawab “ Nak Riski, Ibu sudah meninggal dari Sembilan bulan yang lalu.
“Inna lillahi wainna ilaihi rajiun! Maaf ya Pak, saya sudah bertanya yang membuat bapak teringat masa lalu.” Dengan rasa sedikit bersalah.
“Ia tidak papa. Semua itu tidak di sengaja. Dan Riski tidak usah menyalahkan diri sendiri. Umm,,, Tumben ananda datang ke rumah ini, apakah ananada ada perlu?”
“Begini Pak,, maksud kedatangan saya ke sini adalahhhhh,,,, Inginnnn me,,,laa,,mar anak bapak yang bernama Dini.” Dengan suara yang agak bergetar.
Tiba-tiba Pak Dandi tersentak. “ Apakah anak tidak salah mengutarakan hal itu?”
“Ia, tidak Pak. Saya benar-benar mencintai anak bapak” Dengan suara yang agak tegas, agar meyakini orang yang akan menjadi Bapak mantuku ini.
“Ehem,, begini nak,,,, Sebenarnya,,,,,sebanarnya,,,,,,,,..”
“Sebenarnya apa pak?”
“Sebenarnya,, Dini sudahhhhhhh……..?????”
“Sudah apa pak? Apakah anak bapak sudah di lamar oleh orang lain, atau dia sudah dinikahi oleh orang lain?” Rasa penasaran yang menghantuiku semakin menjadi-jadi. Aku takkut jika dia sudah ada yang memiliki.
“Sebenarnya anak bapak Dini Mudzalifah sudah,,,,,,,,, sudah meninggal setahun yang lalu. Maaf jika bapak tidak sempat memberlkan kabar pada saat itu.” Sambil menaruh tongkat yang dari tadi ia pegang.
Seketika air mataku langsung berlinangan. Ingin rasanya ku penuhi ruangan itu dengan air mataku. Tapi aku tak sangup melakukannya. Ku lihat langit-langit rumah itupun sepertinya ingin menangis. Kejadian akir-akhir ini yang ku alami menjadi pertanyaan yang sangat mendalam dan harus ku pecahkan, siapa sebenarnya orang yang selalu bersamaku itu.
PROFIL PENULIS
Nama: Aminuudin
Ttl : Waikabubak, 10 Juni
Asal: NTT-Sumba Barat
Pekerjaan: Kuliah di UNISMA