KENAPA HARUS AKU??
Karya Retno Purwoningsih
Pagi itu, hari pertama masuk SMA. Aku masuk ke kelas X3. Letaknya di gedung pertama, lantai 2, kelas ketiga dari kanan. Pertama masuk kelas, aku sudah mendapat teman baru yang cukup asik. Mereka adalah Ina, Ayu, dan Anis. Aku satu bangku dengan Ina, dan Ayu dengan Anis. Baru saja kenal, tetapi kita sudah merasa akrab. Kami bercerita tentang masa-masa SMP. Ina lucu, Ayu cerewet, dan Anis? Kaya ibu-ibu *eh.
3 minggu di X3? Rasanya nyaman, muridnya asik-asik, seru, selalu ketawa. Tapi, aku sudah mendapat masalah. Aku bertengar dengan Mawar. Apa masalahnya aku pun tidak tahu. Sampai suatu hari, Mawar tiba-tiba melabrak aku. Tetapi aku hanya bisa diam karena aku memang tidak tahu apa-apa. Hampir satu bulan aku bermusuhan dengan Mawar. Tapi, akhirnya kita berdua jadi berteman. Kenapa? Karena sudah mendekati bulan ramadhan, jadi kita sama-sama minta maaf. Karena ‘tidak mau punya dosa’ hehe. Dan akhirnya aku dan Mawar menjadi teman.
 |
Kenapa Harus Aku?? |
Hampir setengah tahun aku selalu bersama X3. Rasanya nyaman, dan baik-baik saja. Sampai saat sekolah sudah memasuki ajaran semester genap, seperti kelas-kelas lain, kami mendpat tugas Sejarah, dan harus berkelompok. Kami ditugaskan untuk mencari peninggalan-peninggalan atau tempat-tempat bersejarah yang ada di daerah kami. Kelompoknya menentukan sendiri, dan maksimal 7 orang. Tapi, kenapa aku tidak mendapatkan kelompok? Aku tidak tahu aku punya salah apa, tapi setiap kelompok yang aku tanyakan, mereka pasti menjawab “sudah pas”. Disitu aku berfikir, apa salahku? Kenapa mereka tidak mau satu kelompok denganku? Kadang-kadang aku menangis, karena setiap ada tugas kelompok, yang anggota kelompoknya menentukan sendiri, pasti aku selalu tidak mendapatkan kelompok. Aku tetap sabar, terus-menerus bersabar.
Setiap ada tugas, kalau aku bisa, mereka pasti mendekatiku, dan aku selalu membantu mereka. Tidak pernah sedikitpun aku bersikap ‘pelit’ dengan mereka. Mereka menyalin jawabanku, aku perbolehkan. Aku tidak pernah melarang mereka untuk menyalin jawabanku. Tapi setiap diberi tugas berkelompok, mereka selalu tidak memilihku untuk bergabung dengan kelompok mereka. Itu yang membuatku sangat bingung.
Sampai suatu hari, aku merasa bahwa kesabaranku memang sudah habis. Aku merasa bahwa aku tidak pernah dianggap ada oleh mereka. Sampai akhirnya aku mengeluh kepada mama.
Aku : “Ma, aku tidak mau sekolah disitu lagi! Aku merasa aku tidak dianggap ada di kelas itu.”
Mama : “Apakah mereka setega itu? Mungkin kamu pernah berbuat sesuatu hingga menyakiti hati mereka?”
Aku : “Aku punya salah apa ma?”
Mama : “Ya sebaiknya kamu tanyakan langsung pada mereka.”
Aku : “Aku rasa aku tidak pernah melakukan suatu hal yang membuat mereka sakit hati atau tersinggung. Aku selalu baik pada mereka.”
Mama : “Lalu kenapa mereka seperti itu pada kamu?”
Aku : “Aku juga tidak tau ma.”
Mama : “Yasudahlah, sebaiknya kamu bersabar. Nanti pasti mereka akan mendapatkan balasannya.”
Aku : “Aku lelah kalau harus terus-menerus bersabar. Aku mau aku pindah ke Cirebon. Lebih baik aku tinggal disana, bersama nenek. Aku yakin teman-temanku disana pasti akan lebik baik daripada disini!”
Mama : “Yakin kamu mau pindah sekolah?”
Aku : “Emm, entahlah.”
Mama : “Yasudah kamu pikir-pikir saja dulu. Mama takut kamu akan menyesal jika pindah terlalu terburu-buru.”
Aku : “Iya ma…”
Setelah aku pertimbangkan, aku memilih untuk tetap bersekolah disini. Aku fikir, pindah sekolah pasti perlu biaya lagi. Dan biayanyapun pasti lebih mahal. Aku tidak mau membebani kedua orangtuaku. Aku juga berfikir, mungkin semua jadi lebih baik saat aku naik ke kelas XI nanti.
Kelas XI… aku mendapat kelas XI IPA 4. Aku mengambil jurusan IPA karena aku tidak menyukai pelajaran IPS. Terutama Ekonomi. Menurutku, Ekonomi lebih sulit dibanding Fisika. ‘Katanya’ sih kelas XI IPA 4 itu ‘kelas unggulan’, karena murid-murid yang masuk ke kelas XI IPA 4, rata-rata mendapat peringkat sepuluh besar ketika dikelas X. “Waaaah banyak saingan”, fikirku. Tetapi, semua bisa lebih baik, karena nilai-nilai mata pelajaranku pasti akan lebih unggul dibanding kelas lain (Aamiin).
Awalnya, semua baik-baik saja. Semuanya ramah. Aku merasa bahwa firasatku semua benar. Dan semua pun berjalan dengan lancar, tidak ada masalah.
Hampir setengah tahun aku bersama-sama XI IPA 4, semua baik. Masuk tahun ajaran semester genap, semua juga fine. Masuk UTS semester genap, semua fine. Setelah UTS, semuanya berubah. Semua hancur. Dan akupun mendapat masalah yang sama seperti saat aku duduk dibangku kelas X, yaitu TIDAK DAPAT KELOMPOK. Kami diberi tugas untuk membuat naskah drama. Awalnya aku sudah punya kelompok. Tapi setiap aku tanya kapan mau membuat naskah dramanya, mereka selalu jawab “tidak tau”. Saat sudah mepet, dengan wajah tak berdosa, salah satu anggota kelompok bilang, “kelomponya dipencar saja ya? Aku sudah ikut kelompok Mela, Mei, dan Sari. Kamu, Ayu, dan Uni ikut ke kelompok lain saja.” Aku langsung bertanya kenapa, dia malah menjawab, “Sudah mepet, kita tidak mungkin bisa menyelesaikan naskah itu dengan cepat.” Aku jawab, “YASUDAH TERSERAH!”
Hari esok, aku langsung saja bertanya dengan Ayu.
Aku : “Yu, bahasa indonesia kamu ikut kelompok siapa?”
Ayu : “Tidak tau, akusih tergantung Uni.”
Aku : “Yasudah aku ikut kamu dan Uni ya?”
Ayu : “Kamu bilang saja dengan Uni.”
Tanpa buang-buang waktu, langsung saja aku bicara ke Uni.
Aku : “Ni, aku bahasa indonesianya ikut kamu ya?”
Uni : “Tidak tau, aku mau ikut kelompok lain saja.”
Akhirnya aku menyerah, dan lebih baik aku ikut kelompok lain, siapa tau kekurangan orang. Aku bertanya ke kelompok lain, aku bilang aku ingin ikut kelompok mereka, tapi mereka bilang “sudah pas”. Disitu aku makin merasa bingung, kenapa jadi seperti ini? Entah apa salahku kepada mereka, sampai-sampai mereka tidak mau aku ikut krlompok mereka. Lagi-lagi aku menangis. Kenapa mereka seperti tidak menganggap saya?
Akhirnya, Sidiq dan Evi, selaku Ketua Murid dan Wakil Ketua Murid kelas, membuat keputusan untuk mengadakan sistem kocokan. Dan akhirnya, aku satu kelompok dengan Mela, Mei, dan Sari. Drama bahasa indonesia ku anggap tuntas.
Tapi, semuanya belum berakhir. Baru-baru ini, XI IPA 4 ditugaskan untuk membuat proposal tentang kesenian. Dan lagi-lagi aku tidak mendapat kelompok. Aku mengeluh kepada Evi bahwa aku belum mendapat kelompok. Awalnya, Evi bilang kalau kelompoknya sudah pas. Tapi karena ada dua orang yang namanya ada di kelompok Evi dan Mita, akhirnya Evi negalah dan menyerahkan dua orang itu ke kelompok Mita. Dan evi pun memasukkan saya kedalam kelompoknya . –Evi memang selalu baik,. Dia memang Wakil Ketua Murid yang baik. Semua seakan-akan tidak menganggapku ada, tapi Evi tetap menganggap saya ada. Dan dia tetap bersikap baik kepada saya–.
Sampai sekarang, aku masih bertanya-tanya. Kenapa aku selalu tidak mendapat kelompok? Kenapa mereka tidak pernah anggap saya ada? Kenapa mereka sejahat ini kepada saya? Apa mungkin mereka begini karena aku tidak sepintar mereka? Tidak secantik mereka? Tidak sekaya mereka? Tidak sepopuler mereka? Dan ada satu pertanyaan yang masih terlintas, KENAPA HARUS AKU YANG MENGALAMI INI SEMUA? Kenapa harus aku? Apa semua ini hanya pada saat aku SMA, atau berlanjut selamanya? Dan akhirnya aku mengambil kesimpulan, bahwa hanya Allah SWT. Yang tau jawabannya.
PROFIL PENULIS
Aku Retno Purwoningsih, aku siswi kelas XI IPA di sekolahku. Ini adalah cerpen pertamaku. Dan ini juga kisah nyata. Maaf yaa kalo cerpen yang aku kurang jelas. Maklum pemula. Kalian mau kenal aku? Add aja fb aku Retno Purwoningsih atau carinya pake email supaya lebih gampang di retnopurwoningsih@ymail.com. Atau kalian bisa follow twitter aku di @retnopurwo08. Terimakasih :)